Selasa, 06 Januari 2009

Mapeksi Kaltim

Sistem dan Struktur.
Suatu Transformasi Dalam Kerangka Zona Bebas Pekerja Anak
di Kutai Kartanegara

Semiarto Aji Purwanto
(Universitas Indonesia)



Pendahuluan
Tentu saya harus berterimakasih terlebih dahulu pada panitia yang telah memberi kesempatan dan kepercayaan pada saya untuk berbicara mengenai isu pekerja anak kali ini. Saya membayangkan peristiwa tiga-empat tahun yang lalu ketika dengan ILO mengadakan penelitian yang kemudian dicetak dalam buku ’Pekerja Anak di Pertambangan Informal di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sebuah Kajian Cepat’[1]. Namun kali ini saya harus bicara agak umum dan dalam konteks yang berbeda, yaitu mengenai sistem dan struktur yang dikaitkan dengan transformasi menuju kondisi bebas pekerja anak di Kutai Kartanegara.

Ada beberapa hal yang mesti saya ungkapkan dalam hal ini, sesuai dengan pengalaman dan pendekatan antropologi yang saya pelajari. Pertama, mengenai sistem dan struktur itu sendiri, lalu tempat anak-anak dalam struktur sosial, dan akhirnya pekerja anak dalam struktur sosial serta kemungkinan mentransformasikannya menuju kondisi bebas pekerja anak.

Sistem dan struktur, pendekatan antropologi
Dalam kajian ilmu-ilmu sosial, pembicaraan mengenai struktur biasanya terkait dengan konsep struktur sosial yang merupakan relasi antar posisi atau status dalam sebuah sistem sosial tertentu. Jadi pembicaraan tersebut berada dalam suatu kerangka besar, berupa sistem sosial, yang di dalamnya terdapat bagian-bagian dengan posisi atau status tertentu yang saling berhubungan. Dengan demikian ada sebuah jaringan hubungan sosial yang tercipta antar bagian dari sistem tersebut. Sistem(sosial)lah yang menjadi semesta pembicaraan atau the whole dari bahasan mengenai struktur sosial.

Dengan pengertian ini, maka segala gerak dan dinamika yang terjadi dalam sistem lalu dikendalikan oleh sebuah mekanisme penjaga keseimbangan sistem sehingga sebuah sistem sosial dapat bertahan. Mekanisme ini dalam ujud nyata sehari-hari akan berupa sejumlah nilai, norma, aturan, atau hukum yang mengatur perilaku manusia sebagai anggota sebuah sistem sosial. Oleh karena itu, maka seluruh hubungan atau relasi yang tercipta dalam struktur sosial seringkali bersifat tetap, mantap dan tidak gampang berubah meskipun individu-individu di dalamnya saling bergantian. Pertanyaaan yang cepat berkembang dari kondisi demikian adalah: apakah dengan demikian struktur akan selalu tetap? Bagaimana kemungkinan perubahan dapat terjadi? Apakah mungkin ada transformasi menuju keadaan tertentu?

Sebelum menjawab pertanyaan yang menjadi pokok pembicaraan dalam presentasi kali ini, saya coba berikan sedikit ilustrasi mengenai struktur sosial, sebagaimana yang saya pelajari dari guru-guru dan bahan bacaan saya sebagai antropolog. Bagi A.R. Radcliffe-Brown, struktur sosial merupakan bagian yang menjadi kunci pokok permasalahan antropologi sodial, yang dapat diamati dalam unit terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. Keluarga merupakan suatu struktur sosial, dengan bagian-bagian: ayah, ibu dan anak-anak. Anggota-anggota struktur tersebut bukan individu ayah, ibu atau anak, tetap status sebagai ayah, ibu dan anak. Sementara bagi Evans Pritchard, ahli antropologi Inggris sesudah Radcliffe-Brown, struktur sosial mempunyai bagian yang lebih luas dari sekedar keluarga, bagian-bagianya adalah unit kekerabatan yang menyusun suatu komunitas. Kalau kita memgambil contoh pada komunitas orang Batak, maka yang menjadi bagian dari struktur sosial komunitas Batak adalah marga-marga, yang tergabung dalam prinsip dalihan na tolu. Gambaran mengenai struktur sosial akan nampak lain lagi di mata B. Malinowski, yang menengarai bagian-bagian dari suatu masyarakat bukan pada satuan orang per orang tetapi pada institusi sosial yang ada dalam masyarakat. baginya struktur sosial yang membentuk masyarakat akan berujud institusi agama, ekonomi, kesehatan, politik, hukum, teknologi, kesenian dan pendidikan. Hampir mirip dengan pendekatan tersebut adalah struktur sosial masyarakat Jawa yang diungkapkan C. Geertz, yaitu pada varian-varian santri, abangan dan priyayi. Atau pada struktur yang dikemukan oleh K. Marx mengenai masyarakat Eropa abad ke XVIII, yaitu kelas kapitalis dan proletar. Begitulah struktur menurut para ahli antropologi sosial[2]; berbeda-beda tetapi mengandung dua elemen utama yaitu: bagian (parts) dan sistem sebagai sebuah keseluruhan (the whole) yang kita bicarakan.

Anak-anak dalam struktur sosial
Selanjutnya, sesudah memahami secara konseptual sistem dan struktur, persoalannya adalah dimana kita menempatkan anak-anak dalam struktur masyarakat? Tentu setelah sebelumnya menjawab: masyarakat mana yang akan kita bicarakan, karena setiap masyarakat mempunyai kemungkinan struktur sosial yang berbeda. Bagi Prof. Koentjaraningrat[3] yang banyak melakukan penelitian mengenai masyarakat Jawa, maka posisi anak-anak adalah pada bagian paling bawah dari sebuah keluarga dalam struktur sosial a’la Radcliffe-Brown. Anak-anak menjadi bagian yang paling bebas dalam arti sedikit sekali dikenakan mekanisme hukuman bagi mereka; mereka berada dalam duinia permainan yang lepas dari konsep benar-salah. Namun demikian, seperti juga diungkapkan oleh H. Geertz[4], mereka tetap harus berada dalam proses sosialisasi terus menerus untuk menjadi dewasa. Harus selalu belajar menjadi ’orang Jawa’, dengan mempelajari bagiaman bersifat ’hormat’, ’takut’, dan ’malu’ dalam konteks-konteks tertentu.

Dalam kondisi yang ideal, peran dan status anak-anak memang berada dalam keadaan yang digambarkan di atas. Namun pada dekade 1970-80-an Ben White[5] yang melakukan penelitian mengenai pertanian dan pedesaan di Jawa menemukan bahwa sebagian dari mereka tidak saja bermaain-main dan belajar untuk hidup sebagai orang dewasa, namun juga berkontribusi dalam kegiatan ekonomi. Keterlibatan mereka dalam aktivitas pertanian ternyata juga mesti diletakkan dalam kerangka ’mereka bekerja seperti orang dewasa’ dengan sejumlah tanggung jawab dan kontribusi atas ekonomi rumah tangga mereka. Temuan ini memperlihatkan bahwa posisi anak memang berperan ganda, sebagai taruna muda yang sedang dalam masa belajar dan sebagai bagian dari kegiatan ekonomi produktif dalam skala rumah tangga.

Gambaran demikian juga nampak pada konteks masyarakat perkotaan, terutama pada sektor ekonomi informal. Pemulung, pengamen, pengemis, loper koran, dan berbagai pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak jalanan, menunjukkan peran, status dan kontribusi mereka dalam rumah tangga. Pada masa krisis ekonomi, intensifikasi penggunaan tenaga kerja anak pada skala rumah tangga disinyalir juga semakin meningkat[6].


Pekerja anak dalam struktur sosial
Untuk melengkapi sinyalemen-sinyalemen di atas, saya coba hadirkan beberapa kasus yang saya ambil dari publikasi para peneliti dan media massa. Dengan ilustrasi di bawah ini, saya berharap kita dapat bersama-sama mengevaluasi dimana posisi anak-anak dalam struktur sosial masyarakat Kutai Kartanegara.

Boks 1. Anak-anak di perkebunan tembakau di Jawa Timur dan Sumatra Utara[7]

Anak-anak terlibat dalam pekerjaan di perkebunan tembakau karena didorong oleh faktor-faktor historis, sosial-kultural, dan sistem manajemen perkebunan. Faktor-faktor ini dalam prosesnya saling terkait dan menempatkan anak-anak sebagai tenaga kerja, baik sebagai tenaga kerja keluarga yang tidak diupah (di Deli Serdang), maupun yang diupah karena hubungan kerja secara individu dan langsung dengan perusahaan perkebunan tembakau (di Jember).

Secara sosio-kultural, anak-anak tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat perkebunan tembakau yang relatif homogen dan terisolir. Dalam lingkungan yang demikian, kerja tembakau telah tersosialisasikan sejak dini karena sejak mereka lahir lingkungan kerja tembakau menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Kondisi kehidupan masyarakat perkebunan di kedua lokasi juga menjadi faktor penentu keterlibatan anak bekerja. Masyarakat perkebunan pada umumnya, menggantungkan hidup sepenuhnya dari kegiatan perkebunan. Keberlangsungan rumah tangga pekerja anak di Jember sangat mengandalkan kontribusi hasil kerja anak-anak. Keterlibatan anak-anak dimaknai sebagai kewajiban yang harus dilakukan bagi orang tua. Hal ini diperkuat oleh sanksi sosial dan moral dari keluarga dan lingkungan komunitas terhadap anak-anak yang tidak bekerja.

Di Deli Serdang, sifat keterlibatan anak-anak dalam kerja tembakau yang dipaksakan pada usia dini didorong oleh sistem manajemen perkebunan yang menerapkan sistem borongan, sehingga seorang Karyawan Harian Tetap (KHT) harus melibatkan seluruh anggota keluarganya, termasuk anak-anak. Sebagai tenaga kerja keluarga yang tidak diupah, anak-anak mengalami eksploitasi ganda, yaitu oleh orang tua dan manajemen perkebunan yang sangat kapitalis. Intensitas keterlibatan mereka relatif tidak jauh berbeda dengan orang dewasa. Beban kerja mereka yang berat berisiko mengancam kesehatan dan mengurangi konsentrasi belajar di sekolah.

Keterlibatan anak-anak di perkebunan tembakau di Deli Serdang juga memperlihatkan nuansa kerja paksa. Pada batas-batas tertentu, sebagai dampak dari sistem manajemen kerja dan sistem kesejahteraan yang diterapkan perkebunan, sifat keterlibatan mereka dalam kerja menjadi mengikat karena ketergantungan orang tua terhadap bantuan anak sangat tinggi dan tak bisa ditawar.

Dari kondisi-kondisi di kedua lokasi penelitian, dapat disimpulkan bahwa bekerja di perkebunan tembakau merupakan wujud eksklusivitas komunitas perkebunan. Dalam arti, kemungkinan untuk berpenghasilan dari sumber di luar perkebunan sangat tipis, selama mereka berada di lingkungan komunitas perkebunan. Sistem manajemen perkebunan yang terkait erat dengan struktur sosial masyarakat dan telah berlangsung puluhan tahun menciptakan tembok yang memisahkan masyarakat perkebunan dengan perkembangan dan peluang di luar lingkungannya. Hanya mereka yang keluar dari lingkungan perkebunan yang dapat meningkatkan taraf hidup.

Dalam struktur sosial masyarakat perkebunan tembakau, baik di Jawa Timur maupun di Sumatra Utara, rupanya, posisi anak memang menempati status sebagai pekerja. Dia tidak berbeda dengan laki-laki maupun wanita dewasa yang harus terlibat dalam proses produksi. Terpaksa atau tidak, itulah yang dikehendaki oleh struktur sosial dalam struktur sosial masyarakat perkebunan. Lalu bagaimana dengan posisinya sebagai taruna muda yang sedang berada dalam proses belajar? Kasus pekerja anak-anak di Nusa Tenggara pada boks berikut memperlihatkan bagaimana pendidikan berperan dalam hal ini


Boks 2 Pekerja anak di Nusa Tenggara[8]

Tingkat keberlanjutan pendidikan relatif rendah. Dropout umumnya terjadi pada tahun-tahun terakhir SD. Namun mereka yang telah masuk SMP relatif kecil kemungkinannya untuk dropout. Rumah tangga yang memiliki anak dropout biasanya memiliki tekanan ekonomi yang lebih besar dari rumahatangga yang anaknya bersekolah.

Anak-anak SMP berasal dari rumah tangga yang memiliki status ekonomi lebih baik dan memiliki lebih banyak sumberdaya dibandingkan rumah tangga anak dropout. Mereka biasanya mempunyai usaha rumah tangga (pertanian), kepala rumah tangganya berpendidikan, memiliki penghasilan bulanan dan tanah. Anak perempuan biasanya harus keluar sekolah jika rumah tangga memiliki sumberdaya terbatas atau jika mereka dibutuhkan untuk bekerja. Hampir sepertiga dari orangtua yang anaknya dropout tidak mengetahui tentang peraturan program wajib belajar. Pengetahuan tentang program wajib belajar tertinggi di Ndona, sementara di Kediri dan Tarus terlihat lebih rendah.

Biaya sekolah (transport,makanan, pakaian seragam dan peralatan sekolah) memberatkan bagi umumnya orang tua siswa SMP. Biaya transport merupakan biaya tambahan yang dialami anak SMP karena lokasi SMP yang jauh dari rumah.

Keterlibatan dan peran ekonomi anak di dalam ekonomi rumah tangga terbukti tidak berpengaruh terhadap alasan mengapa anak tidak bersekolah. Hampir 60 persen siswa SMP pernah bekerja pada semester yang lalu. Anak yang bekerja, baik yang masih bersekolah maupun yang dropout, biasanya berasal dari keluarga dari rumah tangga yang memiliki usaha ekonomi. Kurang dari duapertiga pada anak yang dropout bekerja pada saat survei, umumnya sebagai pekerja keluarga di pertanian. Anak perempuan lebih mudah terserap dalam kegiatan ekonomi rumah tangga dibandingkan laki-laki.

Kesempatan kerja sangat terbatas menyebabkan mereka yang dropout memiliki peluang yang sangat kecil untuk bekerja di sektor formal. Sementara itu industri rumah tangga juga terbatas. SMP Terbuka dan Program Paket B sangat berhasil dalam memberikan kesempatan pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Di ketiga lokasi penelitian orang tua umumnya menilai tinggi penddidikan bagi anak. Sebagian besar menganggap bahwa pendidikan yang baik untuk anak adalah SMP atau yang lebih tinggi. Hanya sebagian kecil orang tua (kebanyakan dari mereka yang memiliki anak dropout) beranggapan bahwa anak perempuan tidak perlu bersekolah lebih tinggi dari SD.

Pendidikan bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur dan Barat yang diteliti memang merupakan sebuah institusi yang dianggap baik. Terbukti dari sebagain besar merasa perlu menyekolahkan anaknya ke jenjang SMP atau yang lebih tinggi lagi. anak yang mana yang perlu sekolah? Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki dan perempuan diharapkan bersekolah terus. Namun, biasanya, anak perempuan cenderung akan diminta keluar dari sekolah oleh orangtua apabila keluarga merasa perlu untuk melakukannya dengan alasan ekonomi. Anak perempuan pada pasar tenaga kerja lebih mudah diserap. Nampaknya ide pendidikan oleh kebanyak masyarakat kita masih dianggap sebagai hal yang ideal. Saya tidak yakin betul apakah hal yang ideal ini akan dengan segenap tenaga diusahakan untuk dicapai karena ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Dalam studi mengenai masyarakat Nusa Tenggara pada boks di atas, pendidikan orang tua dan kondisi ekonomi yang lebih baik sangat berpengaruh pada kelangsungan pendidikan. Struktur sosial masyaraktnya dengan demikian nampak tersusun oleh bagian-bagian yang menampilkan faktor pendidikan dan ekonomi. Anak-anak yang berasal dalam keluarag kurang mampu akan berada dalam lapisan bawah dan terpaksa keluar sekolah untuk terjun ke lapangan kerja.

Mengapa anak-anak tetap dimasukkan ke dalam tenaga kerja, walaupun orangtua sepenuhnya memahami pentingnya masa kanak-kanak sebagai masa pendidikan? Jawaban paling gampang tentui karena persoalan ekonomi. Namun apabila dicermati, saya yakin bahwa ada persoalan struktur sosial yang memungkinkan anak-anak masuk ke dalam pasar tenaga kerja. Apabila struktur sosialnya menolak ide ’anak bekerja’, maka perangkat atura berupa hukum akan menjaganya. Namun apabila struktur tersebut tunduk dengan praksis yang bersandarkan pada hukum kemiskinan, maka perubahan dengan cepat terjadi, dan fenomena anak yang bekerja lalu dapat ditolerir. Anak-anak tersebut berada dalam keluarga yang kurang mampu secara ekonomi. Di sisi lain, pengusaha membutuhkan input produksi murah; anak-anak terutama perempuan seperti pada kasus di Nusa Tenggara lalu dengan cepat ditampung pasar tenaga kerja. Input produksi rendah juga menjadi alasan utama para pengusaha jermal di Sumatra Utara untuk mempekerjakan anak, bahkan anak laki-laki.

Boks 3. Mengapa para pemilik jermal mau mempekerjakan anak? [9]
Pertanyaan ini layak mengemuka karena kenyataannya masih banyak anak dipekerjakan di jermal sementara peraturan di Indonesia telah dengan tegas melarangnya. Alasan utama pemakaian pekerja anak di jermal adalah, biaya yang murah dan pekerja yang penurut. Seorang anak yang bekerja di jermal sudah cukup senang dengan gaji Rp 100.000 per bulan. Selain itu, seorang anak pekerja jermal jelas akan sangat menurut kepada mandornya karena secara fisik memang kalah segalanya.
Maman Natawijaya, Chief Monitoring Expert ILO/IPEC mengatakan bahwa pekerja jermal yang anak-anak taat kepada sistem gaji bulanan itu. Dengan sistem ini, banyak atau sedikit hasil kerja mereka, gaji yang didapat tetap. Tapi, untuk mencegah agar pekerja anak ini tidak bermalas-malasan, pemilik jermal biasanya sudah menggaji mandor-mandor yang keras dan tegas, bahkan sering kejam.
"Saat ini sudah banyak pekerja jermal dewasa yang menuntut upah dengan sistem bagi hasil. Jadi, para pemilik jermal jelas ingin mengurangi pengeluaran dengan mengambil pekerja-pekerja anak," papar Maman. Walau lebih murah, pekerja anak jelas mempunyai kekurangan dibandingkan dengan pekerja dewasa antara lain dalam hal kekuatan fisik. Untuk itu, seorang pemilik jermal akan melakukan kombinasi terbaik antara pekerja dewasa dan pekerja anak-anak.
Seorang pemilik jermal perlu mengeluarkan uang sekitar Rp 500 juta sampai Rp 750 juta untuk membangun sebuah jermal. Mahalnya biaya untuk membangun jermal yang kumuh ini disebabkan mahalnya biaya transportasi dan biaya pemasangan. Dengan letaknya yang jauh di tengah laut, jelas pembuatan sebuah jermal membutuhkan kapal-kapal besar untuk membawa balok-balok kayu penyangga. Juga tukang-tukang yang ahli bekerja di tengah gelombang. Setelah berjalan, sebuah jermal besar rata-rata bisa menghasilkan sekitar 500 kilogram ikan teri per bulannya. Dengan harga ikan teri kualitas tinggi yang sekitar Rp 30.000 per kilogramnya, sebuah jermal bisa mendatangkan uang minimal Rp 15 juta per bulan.
Dari begitu besarnya biaya pembuatan, jelas pemilik sebuah jermal ingin kembali modal secepat mungkin. Dan, salah satu cara untuk itu adalah dengan menekan pengeluaran lewat pemakaian pekerja anak. Pada sebuah jermal besar, yaitu berukuran luas tapak sekitar dua kali lapangan basket dengan luas bangunan pengolah seluas lapangan bulu tangkis, biasanya bekerja sekitar 10 pekerja. Sekitar empat sampai enam di antaranya adalah pekerja anak, atau pekerja muda. Pekerja anak melakukan kerja persiapan penarikan dan penurunan jaring. Dalam menarik jaring, karena tenaga mereka lebih kecil, sering mereka melakukannya beramai-ramai.
Dalam sebuah jermal, pekerja dengan pangkat tertinggi adalah juru masaknya. Kerja orang ini sangat menentukan pemasukan sebuah jermal, sebab mutu ikan olahan yang keluar dari jermal sangat tergantung kepiawaian orang ini dalam mengolahnya. Setelah terangkat dari jaring, ikan-ikan teri itu langsung dimasak dalam kuali besar. Besar kecilnya api juga mempengaruhi mutu ikan olahannya nanti. Bahkan, kalau hari sedang hujan, ikan teri yang dimasak tidak bisa dijemur melainkan dipertahankan dalam kuali di atas api. Kalau api terlalu besar, teri-teri itu akan remuk menjadi bubur, sementara kalau api terlalu kecil basilah masakan itu.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pada tahun 1998, juga melakukan studi mengenai hubungan antara kemiskinan dan anak-anak yang bekerja. Temuannya menunjukkan berbagai faktor historis dan kulutral yang menyebabkan mengapa anak terlibat sebagai bagian dari tenaga produksi. Struktur sosial yang terbangun dari interaksi antara sistem nilai budaya tradisional, yang sebagian besar menempatkan anak-anak dalam periode bermain dan belajar untuk hidupa sebagai orang dewasa, lalu perlahan berubah menuju ke pada sisi komersialisasi anak. Saya harus berhati-hati di sini, karena ide pendidikan yang berasal dari Barat, melalui kapitalisme, sebenarnya juga menempatkan anak-anak dalam posisi belajar bukan tenaga produktif. Oleh karena itu sistem ekonomi pasar dalam hal ini menampakkan dua muka: melibatkan anak-anak dalam pasar tenaga kerja karena keterpaksaan kondisi ekonomi rumah tangga orangtua, dan menempatkan anak-anak sebagai murid dalam sistem belajar di sekolah.

Boks 4. Pekerja anak Indonesia[10]

Secara historis pada masa pemerintah kolonial Belanda, mayoritas anak-anak bangsa Indonesia asli (Bumiputra) tidak dapat mengenyam pendidikan formal, sehingga sebagian besar dari mereka harus bekerja pada pertanian-pertanian skala besar maupun industri-industri yang dikelola oleh Hindia Belanda (Geertz, 1971). Hanya sebagian kecil anak-anak orang Indonesia (priyayi dan bangsawan), maupun orang Golongan Timur Asing atau yang dipersamakan dengannya yang diperbolehkan mengikuti pendidikan-pendidikan formal. Perlakuan yang berbeda-beda terhadap berbagai golongan masyarakat yang ada di Indonesia, yang dituangkan dalam Indische Staatsregeling (131 IS) memberikan implikasi tidak hanya pada dualisme aturan/hukum yang dipergunakan, tetapi juga berdampak pada kehidupan sosial yang lebih luas, termasuk hak sosial dan politik. Kondisi masyarakat yang berlapis dan diskriminatif dengan lapisan atas yang jumlahnya sedikit (priyayi) dan sebagian terbesar pada lapisan bawah (wong cilik), mengakibatkan sebagian besar anak-anak Indonesia pada masa itu telah akrab dengan "bekerja" baik di sektor domestik maupun sektor publik yang bermotifkan pada membantu kehidupan keluarga (Mulder, 1996).

Kemiskinan yang lekat dengan golongan lapisan bawah pada sebagian terbesar masyarakat Indonesia dijadikan sebuah alasan pembenar terhadap praktek-praktek mempekerjakan anak dalam usaha untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga, baik oleh orang tuanya sendiri maupun oleh pihak pengusaha. Mereka pada umumnya dipekerjakan di pabrik-pabrik Belanda seperti di pabrik gula, pabrik rokok (klobot), batik, teh, kopi, kulit, ubin/lantai, dan pabrik-pabrik lainnya dengan jam kerja antara 8 -10 jam sehari (Achdian dan Aminudin, 1995). Meskipun terdapat beberapa aturan hukum yang melarang mempekerjakan anak dibawah usia, seperti: Ordonantie 17 Desember 1925 (Staatsblad (Stb. No.647) yang diperbaharuhi dengan Ordonantie No. 9 tahun 1949 mengenai perubahan peraturan tentang pembatasan kerja anak-anak, dan Ordonantie 27 Februari 1926, (Stb. No. 87) mengenai peraturan tentang pekerjaan anak dan orang muda di kapal.

Akan tetapi aturan-aturan tersebut masih mengandung sikap ambivalensi. Sikap ambivalensi peraturan hukum tersebut terlihat dari adanya klausula pengecualian (discretion clausule) yang membuat kepastian hukum terhadap pelarangan mempekerjakan anak di bawah usia kerja menjadi kabur. Sebagai contoh, Pasal 2 Ordonantie 27 Februari 1926 menyebutkan: ‘Anak dibawah umur 12 tahun tidak boleh menjalankan pekerjaan di kapal, kecuali bila ia bekerja di bawah pengawasan ahlinya atau seorang keluarga sampai derajat ketiga.’ Demikian juga halnya pada Ordonantie 17 Desember 1925 yang memberikan batasan terhadap bidang-bidang pekerjaan yang tidak diperbolehkan untuk anak-anak. Keadaan inilah yang antara lain memberikan celah hukum terhadap praktek pekerja anak di masa kolonial Belanda. Begitu pula dengan sikap sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap praktek ini melalui proses enkulturasi "bekerja membantu orang tua" dan terbatasnya fasilitas pendidikan formal bagi mereka, yang telah menciptakan iklim yang subur terhadap praktek pekerja anak. Kondisi ini berlangsung hingga akhir abad ke 19, khususnya pada saat liberalisasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan munculnya perkebunan-perkebunan raksasa swasta yang justru lebih menyengsarakan kehidupan para petani di Jawa dan meningkatnya eksploitasi terhadap pekerja anak (Geertz, dalam Koentjaraningrat, 1984).

Pada awal abad ke-20, sebagian kecil petani (lapisan bawah) dan orang-orang pribumi menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Mereka mulai mengirimkan anak-anak mereka pada sekolah-sekolah desa (Volkscholen), meskipun pendidikan formal untuk mereka masih sangat terbatas (Koentjaraningrat, 1984). Sikap ini telah merintis perbaikan terhadap kehidupan anak Indonesia. Setitik harapan buat masa depan anak Indonesia secara berangsur-angsur telah melahirkan beberapa generasi muda terpelajar pada masa awal abad 20-an, yang kemudian telah memberikan suatu momentum perjuangan Bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari kolonialisme dunia. Akan tetapi, sebagian terbesar anak-anak Indonesia khususnya yang berada di desa-desa masih terbelenggu oleh nilai-nilai dominannya (dominat values) yang secara kultural (culturally rooted) bekerja untuk membantu kehidupan keluarga, baik di sektor publik (pada umumnya laki-laki) maupun yang di sektor domestik (pada umumnya perempuan). Keadaan anak yang bekerja di desa-desa membantu kehidupan orang tua merupakan suatu pemandangan yang umum, bahkan para remaja pun telah keluar dari desanya untuk sekolah dan bekerja sebagai usaha untuk membiayai sekolah.

Tampaknya kemiskinan dan keterbatasan pendidikan masyarakat desa merupakan medium yang permisif terhadap praktek pekerja anak. Keadaan ini terutama diterima oleh sebagian besar anak perempuan, khusunya di Jawa. Stereotipe masyarakatnya masyarakat Jawa cenderung mensosialisasikan anak perempuan untuk bekerja membantu pekerjaan di rumah (pada sektor domestik) dan tidak perlu untuk mengenyam pendidikan yang tinggi. Hal ini membuat terganggunya pertumbuhan dan perkembangan anak.


Secara historis kita melihat bahwa struktur sosial masyarakat Indonesia memang sedang berubah. Kita menyaksikan bahwa interaksi budaya setempat dengan unsur asing baik berupa penjajahan, pengenalan sistem ekonomi kapitalisme dan saat ini dengan revolusi informasi, telah terjadi dinamika sosial yang luar biasa. Sebuah revolusi sosial tengah terjadi. Berbagai kontradiksi, ambivalensi dan konflik kepentingan muncul. Ini adalah bagian dari kontestasi peran yang harus dilihat sebelum menempatkan anak-anak dalam struktur sosial suatu masyarakat.


Dalam kajian yang saya lakukan di Kutai Barat, sektor pertambagan emas informal di sungai Kelian, telah menjadikan wahana yang tepat bagi anak-anak untuk bersosialisasi dan belajr makna hidup yang keras ini. Struktur sosial masyarakat pendatang yang longgar, karena sedang dalam proses adaptasi untk menyesuaikan dengan lingkungan baru, menyebabkan toleransi atas anak yang bekerja menjadi tinggi. Suasana kerja yang berselimutkan permainan, ’nyaman’, dengan jam kerja yang sesuka hati anak-anak telah membuat fenomena anak bekerja di sektor pertambangan informal ini menjadi masuk akal. Ada bahayanya? Jelas, karena eksposur bahan kimiawi relatif tinggi, pergaulan dengan pekerja emas dewasa akan mempengaruhi kondisi psikologis anak-anak, penggunaan obat-obatan peningkat stamina kerja-rokok-alkohol oleh pekerja dewasa dengan cepat diikuti anak-anak. Untuk mengeliminasi begitu saja dengan melarang anak bekerja tentu menadi naif karena serangkaian bahaya itu tidak nampak oleh persepsi masyarakt setempat. Karenanya perlu dicarikan modus dan substitusi yang tepat, terutama dalam hal wahana yang paling tepat bagi anak untuk bersosialisasi.

Penutup

Transformasi kepada zona bebas pekerja anak, sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kuta Kartanegara, tentu harus didukung oleh segenap pihak. Namun dukungan tersebut juga harus disertai dengan pemahaman mengenai dinamika sosial yang terjadi pada wilayah ini. Sebagai daearh yang potensial dengan sumberdaya alam, sebagian sudah tergarap dan menjadi asset daerah, sistem ekonomi pasar menampakkan perujudan yang nyata. Oleh karena itu perlindungan kepada anak-anak sebagai subbagian dari masyarakt harus dilakukan. Saya yakin bahwa perlindungan yang terbaik bagi pekerja anak adalah dengan menghapuskan ide pekerja anak tersebut[11]. Paling mudah adalah dengan mengawasi pasar tenaga kerja di bidang industri; peraturan dan sanksi yang ketat akan mengeliminir pekerja anak. Lebih berat sedikit, adalah pada sektor pertanian dan ekonomi pedesaan serta sektor informal di perkotaan. Perlindungan pekerja anak dengan cara eliminasi pekerja anak harus serentak dengan program pendidikan dan peningkatan ekonomi rumah tangga.

Catatan belakang

[1] Terbit sebagai hasil kajian Laboratorium Antropologi FISIP Universitas Indonesia dan Program Internasional Penghapusan Pekerja Anak/IPEC, Pekerja Anak di Pertambangan Informal di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sebuah Kajian Cepat. ILO tahun 2004.

[2] Para ahli antropologi sosial dengan karya-karyanya, seperti A.R. Radcliife Brown (1952) Structure and function in primitive society. London:Cohen & West, B. Malinowskiv(1961) The Argonauts of Western Pacivic. New York:E.P.Dalton and Co., dan E.E.Evans-Pritchard (1962) Social anthropology and other essays. New York:Free Press, mengembangkan teori-teori mengenai masyarakat dan struktur sosial dengan penekanan yang berbeda. Sementara para ahli antropologi yang lain, seperti C. Geertz meninjau struktur sosial dengan karya etnografinya, Geertz, Clifford (1983) Santri, abangan, priyayi dalam masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

[3] Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN. Balai Pustaka.

[4] H. Geertz (1983) Keluarga Jawa. Jakarta:Grafiti Press

[5] Benjamin White dan Tjandraningsih. (1998). Child Workers in Indonesia. Bandung: AKATIGA
[6] Sebuah media massa di Jakarta, tahun 2002, mengutip Kepala Humas Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) Bambang Budi Setiawan menyatakan bahwa akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, jumlah pakerja anak di Indonesia berdasarkan perkiraan ILO telah membengkak menjadi enam sampai delapan juta tahun ini. Pekerja anak yang berada di sektor terburuk di Indonesia jumlahnya diperkirakan meningkat drastis. Di samping masalah krisis ekonomi, situasinya juga diperburuk karena belum adanya kesadaran masyarakat dan instansi pemerintah akan masalah tersebut. Berdasarkan data BPS tahun 2000, fenomena pekerja anak di Indonesia hanya 2,3 juta. Mereka berusia antara 10-14 tahun yang bekerja secara ekonomi aktif.
[7] Diambil dari buku Pekerja Anak Di Perkebunan Tembakau. Bandung: Akatiga, hasil studi Indrasari Tjandraningsih & Popon Anarita (2002)

[8] Bahan diambil dari hasil peneltian Daliyo, Marian May, Phillip Guest dan Riwanto Tirtosudarmo berjudul Pekerja Anak dan Perencanaan Pendidikan di Nusatenggara Barat dan Nusatenggara Timur. Dipersiapkan untuk The Indonesia-Australia Population-Related Research for Development Planning and Development Assistance Project, Agustus 1998

[9] Bahan diambil dari artikel di Kompas, Jumat, 26 Juli 2002, ’Teri Medan dan Pekerja Belia’

[10] Bahan diambil dari buku Membangun Jaringan Kerjasama Hak Asasi Manusia. Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 1998

[11] Para pengamat isu pekerja anak melihat ada paling tidak tiga pendekatan untuk menyelesaikan masalah pekerja anak, yaitu dengan: penghapusan (eliminasi), perlindungan (proteksi) dan pemberdayaan. Pendekatan eliminasi mencerminkan pandangan bahwa dunia anak ya hanya untuk bermain dan belajar, mereka menolak sama sekali ide ada anak yang bekerja. Karenanya setiap melihat fenomena anak bekerja, penyelesaiannya adalah dengan menghapuskan praktek tersebut, entah bagaimana caranya. Kalau ternyata susah untuk memnghapuskannya, maka yang harus dilakukan adalah melindungi anak-anak yang terpaksa bekerja. Sementara, karena penyebab anak yang bekerja diyakini berasalh dari faktor-faktor struktural, maka pemberdayaan ekonomi rumah tangga dan pendidikan lalu menjadi salah satu pilihan untuk menyelesaikan masalah ini. Lihat tulisan Haryadi, D & N.Sukarna yang dimuat di harian Kompas 24 Juli 1999 Buruh Anak Sebagai Perbudakan.
Keterangan :
Paper ini disampaikan dalam SEMILOKA REFLEKSI DAN EVALUASI PROSPEK ZONA BEBAS PEKERJA ANAK DI KUTAI KARTANEGARA Tanggal 20 Juni 2006 di Hotel Singgasana Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. yang dilaksanakan Oleh Mapeksi Kaltim

1 komentar:

  1. Sloty Casino, Las Vegas, Nevada, United States - Mapyro
    Find Sloty Casino, 강원도 출장샵 Las Vegas, 제주도 출장안마 Nevada, United States, driving 양주 출장샵 directions, 수원 출장안마 driving directions, shop hours and 안성 출장안마 map directions.

    BalasHapus