Selasa, 06 Januari 2009

PENGHAPUSAN ATAU PEMANUSIAAN PEKERJA ANAK

PENGHAPUSAN ATAU PEMANUSIAAN PEKERJA ANAK?

Oleh: Prof. Dr. Muhadjir Darwin
Magister Studi Kebijakan
Universitas Gadjah Mada


“Anda tidak fair! Anda berulangkali mengatakan, pekerja anak harus dihapuskan. Anak tidak boleh bekerja, mereka harus dilindungi dan seluruh haknya harus diakui sesuai apa yang tercantum dalam CRC (Konvensi Hak Anak). Tapi hak anak juga termasuk hak untuk bekerja. Kalau anda tadi menyebut bahwa kemiskinan merupakan salah satu sebab utama mengapa anak memasuki pasar kerja, bagi kami, bekerja merupakan tanggung jawab untuk membantu keluarga.

(Seorang anak, wakil dari Children’s Press, menanggapi pendapat Marjue Newman-William, Wakil Direktur Divisi Evaluasi, Kebijakan, dan Perencanaan Dana PBB untuk Anak (UNICEF), pada pertemuan Pers di Oslo, Norwegia, 27 Oktober 1997).


PENDAHULUAN
Pekerja anak telah lama menjadi isu publik, dan telah lama pula terbangun komitmen global untuk mengatasi masalah tersebut. Sejak tahun 1919, ILO telah mengadopsi lebih dari 15 konvensi yang menyangkut atau relevan dengan permasalahan pekerja anak. Diantara konvensi-konvensi tersebut, konvensi komprehensif yang sangat relevan dengan masalah pekerja anak adalah Konvensi No: 138/1973 mengenai batasan usia minimum untuk bekerja (minimum admission to work) dan Konvensi No: 182/1999 mengenai bentuk-bentuk terburuk pekerja anak (worst forms of child labour).
Indonesia adalah salah satu negara pertama yang terpilih untuk ikut dalam Program Penghapusan Buruh Anak-Anak Internasional (IPEC), dan menandatangani sebuah nota kesepahaman dengan ILO pada 1992 untuk memimpin kerja sama di bawah program ini. Pemerintah dan ILO menandatangani sebuah nota lain mengenai buruh anak-anak pada Maret 1997 yang mengikat mereka dalam kesepakatan untuk memajukan persyaratan yang memungkinkan pemerintah melindungi buruh anak-anak dan secara bertahap melarang, membatasi dan mengatur buruh anak-anak dengan tujuan akhir menghapuskannya. Pada Bulan Desember Menteri Tenaga Kerja ketika itu, Fahmi Idris, menandatangani sebuah nota minat, disaksikan Presiden Habibie dan direktur ILO di Jakarta, yang mewajibkan pemerintah untuk meratifikasi konvensi ILO tentang usia buruh minimum paling lambat Juni 1999. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menentukan bahwa setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang sehingga orang tua dilarang menelantarkan anaknya. Orang tua dapat dikenakan sanksi hukuman kurungan yang cukup berat, termasuk perusahaan, jika mempekerjakan anak di bawah umur.
Sementara itu pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara melalui Perda No.9 Tahun 2004 telah mencanangkan daerahnya sebagai Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA), dengan menentukan target-target pencapaian waktu (time limit) bahwa tahun 2007 tidak akan lagi pekerja anak di bawah usia 15 tahun, dan anak-anak sampai batas usia tersebut telah memperoleh wajib belajar 9 tahun. Pada akhir lima tahun kedua (2112), anak di bawah usia 18 tahun sepenuhnya harus telah memperoleh wajib belajar 12 tahun.
Pertanyaan yang perlu di bahas dalam hal ini adalah apakah target-target yang dicanangkan oleh Kukar dapat tercapai, dan bagaimana mencapainya? Bagaimana menjamin agar pencapaian target ZBPA memberi implikasi pada kesejahteraan dan masa depan anak, bukan sebaliknya? Jika ZBPA menjadi model untuk diterapkan di daerah-daerah lain di Indonesia, mampukan daerah-daerah tersebut mencapainya? Jika pun mampu, apakah perlu?
Perlu diketahui, negara-negara maju yang telah lama mengalami industrialisasi dan mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi yang tinggi hingga sekarang belum sepenuhnya terbebas dari masalah pekerja anak (White, 1994). Indonesia, yang hingga sekarang masih dililit oleh krisis ekonomi, angka kemiskinan yang tinggi, proporsi penduduk yang bekerja di pertanian yang juga masih tinggi, dan aspirasi pendidikan yang masih rendah di kalangan penduduk miskin, mempunyai tantangan yang lebih berat untuk mengeluarkan anak dari dunia kerja. Jika pemerintah bersikeras untuk membebaskan anak dari seluruh bentuk pekerjaan, menjadi pertanyaan apakah hal itu menguntungkan bagi masa depan anak?[1]
Gagasan membebaskan anak dari pekerjaan didasarkan pada asumsi bahwa pekerja anak rentan mengalami eksploitasi, marginalisasi, kekerasan, dan terancam mengalami gangguan fisik dan mental. Namun dalam kenyataannya tidak semua pekerjaan anak berbahaya, dan tidak semua anak mengalami akibat buruk seperti yang digambarkan di atas. Jika begitu, apakah solusinya adalah melarang mempekerjakan anak untuk semua kasus, atau hanya melarang mempekerjakan anak sejauh pekerjaan tersebut berbahaya bagi anak dan membuat aturan agar pekerja anak terlindung dari risiko buruk?
Alasan lain untuk melarang anak bekerja adalah karena pekerjaan dapat mengganggu anak dalam belajar. Banyak anak drop out dari sekolah atau prestasi belajarnya berkurang karena bekerja. Jika begitu, apakah solusinya harus melarang anak sekolah bekerja atau model pendidikanlah yang seharusnya disesuaikan agar sesuai dengan situasi dan kebutuhan pekerja anak? Paper ini bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.


DEFINISI PEKERJA ANAK

Secara umum pekerja atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Suyanto, 2003:3). Sementara itu, batasan usia anak ternyata cukup variatif. UU Nomor 25/1997 tentang Ketenagakerjaan ayat 20 menyebutkan bahwa yang dimaksud anak adalah orang laki-laki atau perempuan yang berumur kurang dari 15 tahun. BPS dalam penyajian data statistik membatasi pekerja anak sebagai penduduk yang berumur 10-14 tahun. Sementara itu, ILO memberi batasan pekerja anak lebih luas, yaitu pekerja yang berumur di bawah 18 tahun.
Dengan definisi anak sebagai penduduk usia 10-14 tahun, pada tahun 2003 Indonesia memiliki 566,5 ribu pekerja anak atau 2,8 persen terhadap total anak pada usia tersebut. Angka ini lebih rendah dibanding tahun 2001, yaitu sebanyak 948,7 jiwa (4,6 persen). Jika dipisahkan antara daerah perdesaan dan perkotaan, terlihat bahwa proporsi pekerjaan anak lebih tinggi di perdesaan. Namun di keduanya, terjadi penurunan proporsi pekerja anak secara konsisten. Penurunan jumlah pekerja anak juga terjadi di Kutai Kartanegara. Pada tahun 2000 jumlah pekerja anak adalah sebesar 11.632 anak. Angka ini turun menjadi 3.012 anak pada tahun 2005.
Namun perlu dicatat bahwa angka pekerja anak yang terdata dalam survai BPS tidak mencerminkan seluruh pekerja anak. Seperti yang dikatakan demograf Terence H. Hull (dikutip Irwanto, 1996:47):

...menggambarkan bahwa membaca statistik angkatan kerja di Indonesia sama seperti menonton wayang kulit. Kita hanya dapat melihat bayang-bayang di balik layar yang merupakan representasi suatu realitas yang telah didistorsi. Statistik angkatan kerja kita diperoleh berdasarkan suatu definisi yang relevan bagi negara-negara di Eropa dalam era revolusi Industri dan upaya kelas pekerja untuk mengontrol pemerintahan, terutama pada tahun 1930an di mana kelas pekerja (working class) sedang berkembang dengan pesat. Indonesia yang berkembang secara ekonomi saat ini mempunyai setting yang berbeda dengan negara-negara tersebut, terutama karena banyaknya individu yang bekerja di sektor informal sehingga tenaga wanita dan anak kurang diwakili dalam statistik.

Anak-anak yang bekerja membantu orang tua di sawah, anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, anak yang dilacurkan, anak yang menjadi pengedar narkoba, atau anak jalanan, besar kemungkinan tidak tercermin dalam survai. Mereka yang bekerja di sektor-sektor tersebut sangat boleh jadi jumlahnya lebih besar, sehingga tren penurunan pekerja anak seperti yang dikemukakan di atas belum tentu mencerminkan realitas.

Dalam konteks eliminasi pekerja anak, pada umumnya, fokus perhatian dari para pengambil kebijakan tidak pada seluruh jenis pekerjaan, tetapi lebih kepada pekerjaan yang bersifat produktif, di luar rumah atau untuk orang lain, dibayar, skala besar, dan sebagai pengganti sekolah. Sementara itu pekerjaan yang bersifat reproduktif, di rumah atau untuk orang tua, tidak dibayar, skala kecil, dan sambil sekolah, tidak dianggap sebagai masalah, sehingga keluar dari pengertian pekerja anak.
Lebih jauh lagi, meskipun penghapusan pekerja anak dijadikan sebagai tujuan jangka panjang, dalam jangka dekat upaya eliminasi pekerja anak lebih dofokuskan pada bentuk-bentuk pekerjaan yang memberi dampak buruk pada anak. Program IPEC/ILO, misalnya, memberi penekanan pada anak yang mengalami situasi-situasi sebagai berikut (Putranto, 1994):
Anak-anak yang dalam bekerja telah dirampas hak-haknya sebagai pribadi. Ini dikenal sebagai bounded labour. Dalam kasus ini, anak tidak memperoleh upah dan dikerjakan secara paksa.
Anak-anak yang bekerja di bawah tekanan yang sangat kuat, walau upah masih diberikan. Tipe pekerjaan ini dapat ditemui dalam kasus anak yang bekerja pada jermal-jermal liar di Sumatra Utara atau anak-anak yang dilacurkan.
Anak-anak yang bekerja pada pekerjaan berbahaya, baik bagi keselamatan jiwa maupun kesehatan fisik dan mentalnya. Berbagai kasus anak yang bekerja di berbagai tempat pembuangan sampah atau di pertambangan telah menjadi prioritas IPEC di Indonesia.
Anak-anak yang bekerja pada usia yang masih sangat muda, di bawah 12 tahun. Jumlah mereka tidak mudah untuk diperkirakan karena tidak tercantum dalam statistik angkatan kerja dan sering tidak dilaporkan (Irwanto, 1996:52).



KENAPA ANAK BEKERJA?

Kemiskinan
Salahsatu penyebab utama kenapa anak-anak di bawah umur terpaksa bekerja adalah kemiskinan. Pada keluarga miskin, anak merupakan jaminan hidup keluarga karena tenaganya memberikan sumbangan penghasilan keluarga. Penelitian oleh LeVine menunjukkan bahwa tujuan mempunyai anak pada masyarakat miskin lebih bersifat kuantitatif, artinya semakin banyak anak akan semakin kuat jaminan sosial-ekonomi keluarga (LeVine dkk, 1988, dalam Irwanto, 1996:53). Banyak penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan faktor pendorong yang paling mendasar. Keluarga-keluarga miskin tidak mampu mempertahankan anak di sekolah, sementara intervensi dengan program IDT bahkan meningkatkan partisipasi anak dalam bekerja.
Pada keluarga miskin, keputusan untuk bekerja sebagian datang dari anak sendiri, tetapi sebagian lain karena keinginan orang tua. Penelitian oleh Suyanto dan Mashud (2000:33) menemukan bahwa lebih dari separuh orang tua menghendaki anaknya membantu pekerjaan orang tua dengan maksud-maksud sosial edukatif—meski pada kenyataannya hal ini tetap mengakibatkan banyak anak lebih tertarik menekuni pekerjaan daripada sekolahnya. Sebagian kecil lainnya memaksa anak-anaknya bekerja—baik dalam lingkungan keluarga maupun kepada orang lain—untuk tujuan ekonomi. Dalam situasi krisis belakangan ini kecenderungan keinginan orang tua untuk memperlakukan anak sebagai tenaga kerja produktif menjadi makin kuat karena penghasilan yang diperoleh orang tua tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga.


Pendidikan
Biaya pendidikan Dasar juga menjadi sebab dari anak untuk bekerja. Penelitian di NTT oleh Daliyo tahun 1996 menemukan bahwa lebih dari separoh anak yang disurvai telah bekerja sambil sekolah. Sementara itu penghapusan SPP belum terbukti membantu masyarakat yang miskin. Biaya untuk seragam, transport, buku, dan lain-lain masih dipandang cukup tinggi. Kenyataan ini mendorong orang tua untuk mempertimbangkan kesempatan ekonomis yang hilang bila anak tetap di bangku sekolah, dan memilih untuk meminta anak bekerja.
Partisipasi sekolah mempunyai hubungan resiprokal dengan status pekerjaan anak. Anak yang gagal dalam pendidikan (drop out) lebih terdorong untuk bekerja, dan sebaliknya anak yang bekerja sambil sekolah cenderung menurun prestasinya, atau mudah mengalami drop out (Suyanto dan Mashud, 2000: 22). Dengan demikian, mahalnya biaya pendidikan menempatkan anak dalam posisi yang dilematis. Anak yang masih berminat sekolah tetapi orang tuanya tidak mampu membiayai akan memaksa anak itu untuk bekerja. Sementara itu, kesibukan bekerja akan membuat anak tersebut terganggu prestasi belajarnya, terpaksa mbolos dari kelas, dan pada akhirnya terpaksa drop-out. Sementara itu kemampuan pemerintah untuk menutupi ongkos pendidikan di luar SPP membuat anak tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus bekerja. Ini berarti, arah solusi dari masalah pekerja anak, salahsatunya terdapat pada sektor pendidikan, yaitu bagaimana membuat anak terbebas dari biaya pendidikan, dan jika hal tersebut tidak mungkin, bagaimana membuat sistem pendidikan lebih mengakomodasi kondisi anak yang terpaksa harus sekolah sambil bekerja.

Penetrasi Pasar
Pasarisasi atau penetrasi kapitalisme global ke dalam perekenomian nasional dan daerah menjadi faktor penting yang ikut memacu tumbuhnya pekerja anak. Dalam situasi perdagangan internasional yang sangat kompetitif, anak dipandang sebagai suatu jalan keluar untuk menekan ongkos produksi. Pengurangan ongkos melalui sistem borongan di rumah kerja (putting-out system) atau melibatkan anak yang digaji rendah dan tanpa jaminan sosial dalam proses produksi merupakan cara yang lebih mudah dalam memenangkan persaingan, ketimbang melalui peningkatan efisiensi kerja, penggunaan mesin atau pengembangan strategi manajemen yang lebih efisien. (Irwanto, 1996: 53).
Kecenderungan anak merespon kecenderungan pasar dengan masuk sebagai tenaga kerja tidak seluruhnya dianggap negatif oleh para ahli pekerja anak. White bahkan melihat bahwa mempermasalahkan anak yang bekerja di sektor formal lebih bias kepada perspektif pihak intervensi, yang seringkali bertentangan dengan perspektif anak itu sendiri. White (1994:3) menunjukkan adanya kontroversi antara pihak intervensi (pemerintah atau pengambil kebijakan) dengan anak. Pekerjaan bergaji di sektor industri, pertambangan, atau pengolahan kayu, dan sebagainya yang dianggap oleh pihak intervensi (pengambil kebijakan) sebagai pekerjaan yang bermasalah atau tidak layak dikerjakan anak, dari sisi anak acapkali justru lebih diinginkan atau sebagai pemecahan masalah. Sementara itu pekerjaan reproduktif yang tidak memberi keuntungan materi langsung yang dianggap oleh pihak intervensi sebagai tidak bermasalah, dari perspektif anak justru dianggap bermasalah. Upaya untuk mengeluarkan anak dari pekerjaan di sektor formal ini justru dianggap counter productive. Kontroversi antara dua pandangan yang berseberangan ini akan memberi arah bagaimana masalah pekerja anak harus diatasi.

PENDEKATAN KEBIJAKAN
Secara garis besar ada 3 pendekatan dalam penanganan masalah pekerja anak, yaitu pendekatan aborsionis, pendekatan proteksionis, dan pendekatan pemberdayaan. Pendekatan tersebut pertama bersifat kontradiktif dengan dua pendekatan lainnya. Pada pendekatan aborsionis, pekerja anak dianggap sebagai suatu masalah yang sama sekali tidak dapat ditoleransi, dan karenanya harus dihapuskan sepenuhnya. Berbeda dengan pendekatan aborsionis, pendekatan perlindungan bertolak dari suatu anggapan bahwa menghapuskan sama sekali pekerja anak merupakan suatu utopi, karena dalam praktek sulit untuk direalisasi. Jika upaya abolisi dipaksakan, hasilnya justru akan merugikan kepentingan anak itu sendiri. Karena itu, yang perlu dilakukan bukannya melarang anak bekerja, tetapi melindungi pekerja anak dari praktek-praktek yang membahayakan, eksploitatif, dan merugikan anak. Dalam perkembangan berikutnya, muncul pendekatan yang lebih maju lagi, yaitu pendekatan pemberdayaan. Pendekatan ini didasarkan kepada asumsi bahwa pekerja anak menjadi bermasalah ketika mereka tidak mempunyai keberadayaan untuk mengorganisasi diri (self organization) dan membela hak-hak dan kepentingannya. Karena itu yang harus dilakukan adalah dengan memberdayakan mereka.
Kedua pendekatan tersebut terakhir, yaitu pendekatan proteksionis dan pemberdayaan bersifat komplementer, artinya saling memperkuat dan saling membutuhkan untuk keberhasilannya. Usaha para anak untuk memberdaya diri menuntut pelaksanaan hak-hak serta perbaikan-perbaikan yang telah ditentukan oleh peraturan-peraturan perlindungan, sedangkan melalui strategi pengorganisasian diri suara mereka dapat mempengaruhi isi dan substansi dari langkah-langkah perlindungan tersebut supaya lebih mendekati kepentingan dan keinginan mereka. Sebaliknya, pendekatan larangan tidak mendukung, tetapi malah justru lebih bersifat menghalangi tercapainya tujuan perlindungan maupun pemberdayaan (White, 1994:4).
Perlu dicatat, bahwa negara-negara Barat tidak pernah menerapkan kebijakan abolisionis secara murni. Negara Belanda misalnya, antara tahun 1850-1870 membentuk berbagai komisi nasional untuk melakukan enquête (angket), untuk memantau kondisi anak-anak yang bekerja di pabrik. Ternyata tidak satupun dari komisi tersebut yang merekomendasikan pembuatan atau perluasan undang-undang untuk melarang atau membatasi pekerjaan anak-anak. Menarik untuk disimak argumen yang dikemukakan oleh Komisi Nasional Pemerintah Belanda tahun 1869 untuk tidak membuat Undang-Undang yang melarang anak bekerja di pabrik:

Jika Undang-Undang melarang anak masuk pabrik, atau membatasi jumlah jam kerja mereka, keluarga anak tersebut akan kehilangan sebagian penghasilannya sehingga mereka harus mencari penggantinya dengan cara-cara lain. Anak-anak akan tetap dipekerjakan di rumah sendiri, atau disuruh mencari penghasilan di jalanan dengan cara apa saja; atau tetap disuruh berburuh di luar, tetapi dalam jenis-jenis pekerjaan lain yang tidak dicakup dalam Undang-Undang. Kemungkinan besar keadaan anak-anak hanya akan bertambah buruk, atau sama saja, dibandingkan keadaan sebelumnya” (White, 1994:7 mengutip dari Vleggeert, 1967:71).

Ketika di negara tersebut diperlakukan wajib belajar yang pertama (leerplichwet 1900) dan pencapaian tingkat partisipasi sekolah sampai umur 14 tahun yang hampir sempurna, sekitar 50 tahun kemudian (sekitar pertengahan abad ke-20, pekerjaan anak-anak tidak hilang, tetapi hanya berubah dari full-time menjadi part-time, sehingga kebanyakan anak wajib sekolah yang sekarang bekerja lebih sering bekerja di luar jam sekolah: pada hari Sabtu/Minggu; dan pada musim libur sekolah.
Saat ini, di Negara Belanda anak-anak Belanda sudah dilindungi oleh seperangkat UU dan peraturan yang cukup komprehensif. Anak-anak di bawah 13 tahun tidak boleh bekerja sama sekali; anak 13-14 tahun hanya boleh melakukan kerja ringan, dan tidak lebih dari 2 jam/hari pada hari sekolah, 5 jam/hari pada hari lainnya. Remaja yang berumur 15-17 tahun boleh melakukan pekerjaan ”ringan” yang full-time, tetapi hanya pada hari/masa libur sekolah, tidak lebih dari 8 jam/hari, tidak pada hari Minggu; pada hari-hari sekolah mereka hanya boleh melakukan pekerjaan ringan yang bukan industri, antara jam 7 malam sampai jam 6 pagi, dan maksimal 2 jam/hari (White, 1994:8).
Saat ini terdapat tekanan global bagi negara-negara miskin untuk membebaskan anak dari pekerjaan. Tekanan keras misalnya ditunjukkan dengan adanya lobi kuat dari Pemerintah AS, ICFTU, Masyarakat Eropa, NAFTA, dan GATT dengan ”social clause”nya untuk memboikot produk-produk dunia ketiga yang pembuatannya menggunakan tenaga kerja anak. Peneliti Pekerja Anak Benjamin White menyebut ulah negara-negara maju tersebut sebagai suatu hipokrisi.

Dengan cara (boikot) ini beberapa negara terkaya di dunia akan berusaha memaksa negara-negara miskin untuk memperketat atau melaksanakan larangan terhadap pekerja anak (umumnya dengan menentukan usia minimum 15 tahun), sedangkan negara-negara kaya itu tidak pernah berhasil melaksanakan peraturan-peraturan child labour yang berlaku di negara mereka sendiri (White, 1994:4).

Dalam konteks tekanan global itulah ILO mencanangkan konsep eliminasi pekerja anak (the elimination of child labour). Namun menyadari adanya kesulitan untuk menghapuskan pekerja anak dalam jangka dekat, konsep eliminasi tersebut hanya ditempatkan sebagai tujuan akhir. Pada jangka pendek mereka fokus pada penghapusan bentuk-bentuk terburuk pekerja anak sebagai tujuan antara.
Posisi pemerintah dalam mensikapi masalah pekerja anak terlihat mendua; di satu sisi membuat larangan, tapi pada sisi lain memberi toleransi. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara tegas melarang orang tua atau perusahaan mempekerjakan anak di bawah umur dan mengenakan sanksi hukuman kurungan yang cukup berat bagi pelanggar. Tetapi Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan anak di bawah umur 18 tahun bekerja, asal dengan jam kerja tidak melebihi 3 jam/hari. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 5 Tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak Pasal 1 menyatakan bahwa pekerja anak adalah yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang. Ini berarti, anak yang melakukan pekerjaan yang tidak berbahaya tidak termasuk dalam definisi pekerja anak, dan karenanya (secara implisit) tidak dilarang. Pembatasan ini menjadi jelas jika dibaca ayat selanjutnya yang menyatakan bahwa Penanggulangan Pekerja Anak atau disebut PPA adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk menghapus, mengurangi dan melindungi pekerja anak berusia 15 tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya.
Pemda Kukar dalam Perda Nomor 9 Tahun 2004 secara eksplisit mencanangkan zona bebas pekerja anak. Tetapi bunyi dari pasal-pasal dalam Perda tersebut memberi toleransi pada pekerjaan anak dengan menentukan batas-batas yang diperbolehkan. Misalnya pada Pasal 4 ditekankan tentang usaha mencegah atau menghapus 17 bentuk pekerjaan terburuk, dan pada Pasal 5 ditentukan tentang batas-batas toleransi, seperti jam kerja (paling lama 3 jam), waktu istirahat (30 menit), adanya fasilitas kerja, tunjangan kerja, perlindungan kerja dan upah sesuai UMR/UMSP. Ini berarti bahwa Pemda Kukar tidak menerapkan pendekatan abolisionis tersebut secara mutlak, tetapi mengkombinasikannya dengan pendekatan proteksionis.
Kecenderungan kuat dari pemerintah untuk lebih menekankan pada solusi praktis terhadap masalah pekerja anak tampak misalnya dari makalah Sekretaris Menko Kesra, Dr. Suyono Yahya, MPH, ”Kebijaksanaan dan Program Untuk Menangani Masalah Pekerja Anak” dalam Konferensi Nasional II Masalah Pekerja Anak di Indonesia, Bogor, 24-26 Juli 1996:

Penghapusan masalah pekerja anak tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat secara pragmatis. Kita harus melihat berbagai faktor yang mempengaruhi, namun yang paling utama kita harus berpegang pada kebijaksanaan menempatkan langkah yang terbaik bagi anak. Bagi anak-anak yang bekerja kita tidak dapat melarang mereka segera meninggalkan pekerjaannya sepanjang kita belum dapat menggantikan manfaat yang mereka peroleh dengan bekerja. Upaya rehabilitasi kita tujukan untuk menghilangkan dampak-dampak negatif dari akibat bekerja misalnya, bila dia kehilangan waktu belajar karena tidak dapat mengikuti pendidikan reguler. Kita perlu memberi kesempatan belajar dengan metode pemberian paket kerja A dan B (hlm.66).

Cara pandang pragmatis dengan melihat masalah pekerja anak dari perspektif anak lebih tampak pada kalangan masyarakat sipil. Kalangan LSM di Indonesia lebih cenderung mengadopsi pendekatan perlindungan dan pemberdayaan. Kedua pendekatan ini dianggap lebih realistis dari sudut pandang anak. Anak tidak diperlakukan sebagai obyek, apalagi terdakwa, tetapi sebagai subyek yang menyadari hak-hak dasarnya, termasuk hak untuk dilindungi dan diberdayakan. Penerapan terhadap dua pendekatan tersebut sekaligus diharapkan bisa memberi solusi yang lebih manusiawi: ”...humanizing the work of children by combining it creatively with education, health and welfare” (memanusiawikan pekerjaan anak-anak dengan menggabungkan secara kreatif pekerjaan mereka dengan menyediakan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan) (Tjandraningsih, 1995:8 mengutip Fyfe, 1989:10).

ALTERNATIF AKSI PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN

Pekerja anak adalah suatu suatu realitas sosial yang perlu disikapi secara bijaksana. Anak adalah generasi penerus yang perlu ditingkatkan kualitasnya sebagai sumberdaya manusia bagi perbaikan masa depan bangsa. Upaya untuk menghapuskan pekerja anak, termasuk penentuan Kukar sebagai Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA) tampaknya berangkat dari tujuan mulia tersebut. Namun usaha-usaha tadi harus dilakukan dengan hati-hati agar terhindar dari tindakan-tindakan policing atau coercive (seperti boikot terhadap perusahaan yang mempekerjakan anak) yang justru dapat merugikan kepentingan anak itu sendiri.
Penentuan tentang ZBPA adalah langkah yang benar sejauh yang dimaksud adalah untuk mengeliminasi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak-anak, seperti yang tercantum dalam Konvensi ILO No: 182/1999 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia. Ketentuan tentang wajib belajar 9 tahun, pendidikan gratis untuk sekolah dasar dan menengah, serta subsidi bagi keluarga miskin juga merupakan langkah positif untuk mengurangi jumlah pekerja anak. Namun upaya karitatif tersebut harus dilakukan secara terukur, karena jika dilakukan secara berlebihan justru dapat mengurangi kemandirian dan kreativitas dari keluarga miskin. Selain itu, upaya karitatif saja tidaklah mencukupi untuk menghilangkan fenomena pekerja anak. Masalah pekerja anak adalah masalah yang kompleks yang memerlukan penanganan yang komprehensif dan menuntut keterlebibatan berbagai pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi juga kalangan bisnis dan masyarakat sipil.
Upaya penanganan pekerja anak harus berangkat dari perspektif anak dan sesuai dengan realitas sosiologis dan psikologis anak. Solusi apa pun harus mendatangkan dampak positif bagi anak, bukan sebaliknya. Ada banyak upaya yang telah dilakukan oleh organisasi pemerintah mau pun non pemerintah yang bersifat perlindungan maupun pemberdayaan. Departemen sosial menyelenggarakan program baik pendekatan institusional maupun non institusional, seperti pengembangan institusi formal (Center Based), institusi non formal (Drop in Center). Sementara itu, secara Departemen tersebut juga melakukan pendekatan non institusional, baik melalui penanganan berbasis keluarga (home based), penanganan anak yang mencari uang di jalan (Street Based), maupun melakukan penanganan melalui masyarakat (Community Based). Lembaga Wanita, Remaja dan Anak (LPWRA)-DPP SPSI melakukan penanganan pekerja anak melalui pondok pekerja anak (PPA). PPA adalah pusat kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan serta kesejahteraan anak melalui pembinaan-pembinaan yang dilakukan oleh pekerja sosial PPA. Selanjutnya Yayasan Paramitra Jawa Timur melakukan upaya perlindungan pekerja anak melalui wahana pondok pesantren. Balai Keterampilan Muhammadiyah Weleri, Kendal, melakukan upaya pengembangan model pelatihan pra kejuruan untuk pekerja anak. Masih banyak model perlindungan dan pemberdayaan yang sudah diterapkan di Indonesia yang terlalu panjang untuk disebut satu-persatu.
Upaya-upaya tadi dapat menjadi inspirasi bagi Pemda Kutai Kartanegara dalam membangun upaya yang konstruktif untuk mengatasi masalah pekerja anak. Ke depan yang hendak kita capai adalah terbebasnya anak-anak Kukar dari bentuk-bentuk buruk pekerjaan anak, dan pada saat yang sama terlindunginya dan terberdayanya pekerja anak di Kukar pada sektor-sektor yang tidak berbahaya, yang secara keseluruhan lebih memungkinkan bagi anak-anak Kukar untuk meningkatkan kualitas mereka sebagai generasi masa depan Kukar.


Daftar Kepustakaan

Embassy of the United States of America, Jakarta of Indonesia. “Laporan Amerika Serikat tentang Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 1998”.
Hartiningsih, Maria. ”Pekerja Anak, Tragedi Induestrialisasi.” Kompas Online, Selasa, 28 Oktober 1997.
Irwanto, “Kajian Literatur dan Penelitian Mengenai Pekerja Anak Sejak Pengembangan Rencana Kerja IPEC 1993”. Proceeding Konferensi Nasional II Masalah Pekerja Anak di Indonesia”, Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, 24-26 Juli 1996, hlm 43- Proceeding Konferensi Nasional II Masalah Pekerja Anak di Indonesia”, Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, 24-26 Juli 1996, hlm. 54.
Irwanto. Studies of Chile Labour in Indonesia: 1993-1996. Jakarta: International Programme on the Elimination of Child Labour (IPEC), ILO, 1997.
Mada, Wientor Rah. ”Wisata dan Eksploitasi Anak. Pikiran Rakyat. Senin, 15 Desember 2003.
Mutia, Narila. ”ILO: Kondisi Pekerja Anak di Indonesia Buruk”. Tempo Interaktif, 8 Juli 2003.
Silalahi, Levi. ”Studi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Terhadap Jenis-Jenis Pekerjaan Berbahaya untuk Pekerja Anak-Anak”. Tempo Interaktif, Minggu, 13 Juni 2004.
Sumantri, Priyono. ”Penilaian Atas Program Aksi Nasional dan Pekerja Anak Sejak Tahun 1993”. Proceeding Konferensi Nasional II Masalah Pekerja Anak di Indonesia”, Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, 24-26 Juli 1996, hlm.31-41.
Supenti, Titin. ”Data Analisis: Perkembangan Pekerja Anak Tahun 2002-2003”, Warta Ketenagakerjaan. Jumat, 2 Juni 2006.
Suyanto, Bagong & Sri Sanituti Hariadi. Pekerja Anak: Masalah, Kebijakan dan Upaya Penanganannya. Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2000.
Tjandraningsih, Indrasari. Pemberdayaan Pekerja Anak: Studi Mengenai Pendampingan Pekerja Anak. Bandung: Akatiga, 1995.
White, Benjamin. ”Children, Work and ’Child Labour’: Changing Responses to the Employment of Chuldren”. Development & Change, Vol. 25, October 1994.
White, Benjamin. ”Perubahan Keterlibatan Anak dalam Pendidikan & Kerja: Analisis Tiga Generasi”. Seminar bulanan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Kamis, 17 April 2003.

* Paper ini disampaikan dalam SEMILOKA REFLEKSI DAN EVALUASI PROSPEK ZONA BEBAS PEKERJA ANAK DI KUTAI KARTANEGARA Tanggal 20 Juni 2006 di Hotel Singgasana Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. yang dilaksanakan Oleh Mapeksi Kaltim
[1] Bandingkan isu pekerja anak ini dengan isu permukiman kumuh, pedagang kaki lima, prostitusi, dan aborsi. Kebijakan-kebijakan yang bernuansa aborsionis dalam kenyataannya gagal mengeliminasi fenomena yang dipermasalahkan, yang terjadi justru menjamurnya fenomena tersebut secara terselubung, sehingga sulit dilakukan upaya-upaya perlindungan dan pemberdayaan.

2 komentar:

  1. saya sangat bersyukur kepada allah karna melalui bantuan KI AGENG MAGIR dan kini kehidupan saya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya,ingat kesempatan tdk akan datan untuk yg kedua kalinya.


    KISAH NYATA…………..
    Ass.Saya IBU SRI HASTUTI.Dari Kota Surabaya Ingin Berbagi Cerita
    dulunya saya pengusaha sukses harta banyak dan kedudukan tinggi tapi semenjak
    saya ditipu oleh teman hampir semua aset saya habis,
    saya sempat putus asa hampir bunuh diri,tapi saya buka
    internet dan menemukan nomor Ki Dimas,saya beranikan diri untuk menghubungi beliau,saya dikasi solusi,
    awalnya saya ragu dan tidak percaya,tapi saya coba ikut ritual dari Ki Dimas alhamdulillah sekarang saya dapat modal dan mulai merintis kembali usaha saya,
    sekarang saya bisa bayar hutang2 saya di bank Mandiri dan BNI,terimah kasih Ki,mau seperti saya silahkan hub Ki
    Dimas Taat Pribadi di nmr 085210575970 Kiyai Dimas Taat Peribadi,ini nyata demi Allah kalau saya bohong,indahnya berbagi,assalamu alaikum.

    KEMARIN SAYA TEMUKAN TULISAN DIBAWAH INI SYA COBA HUBUNGI TERNYATA BETUL,
    BELIAU SUDAH MEMBUKTIKAN KESAYA !!!

    ((((((((((((DANA GHAIB)))))))))))))))))

    Pesugihan Instant 10 MILYAR
    Mulai bulan ini (juli 2015) Kami dari padepokan mengadakan program pesugihan Instant tanpa tumbal, serta tanpa resiko. Program ini kami khususkan bagi para pasien yang membutuhan modal usaha yang cukup besar, Hutang yang menumpuk (diatas 1 Milyar), Adapun ketentuan mengikuti program ini adalah sebagai berikut :

    Mempunyai Hutang diatas 1 Milyar
    Ingin membuka usaha dengan Modal diatas 1 Milyar
    dll

    Syarat :

    Usia Minimal 21 Tahun
    Berani Ritual (apabila tidak berani, maka bisa diwakilkan kami dan tim)
    Belum pernah melakukan perjanjian pesugihan ditempat lain
    Suci lahir dan batin (wanita tidak boleh mengikuti program ini pada saat datang bulan)
    Harus memiliki Kamar Kosong di rumah anda

    Proses :

    Proses ritual selama 2 hari 2 malam di dalam gua
    Harus siap mental lahir dan batin
    Sanggup Puasa 2 hari 2 malam ( ngebleng)
    Pada malam hari tidak boleh tidur

    Biaya ritual Sebesar 10 Juta dengan rincian sebagai berikut :

    Pengganti tumbal Kambing kendit : 5jt
    Ayam cemani : 2jt
    Minyak Songolangit : 2jt
    bunga, candu, kemenyan, nasi tumpeng, kain kafan dll Sebesar : 1jt

    Prosedur Daftar Ritual ini :

    Kirim Foto anda
    Kirim Data sesuai KTP

    Format : Nama, Alamat, Umur, Nama ibu Kandung, Weton (Hari Lahir), PESUGIHAN 10 MILYAR

    Kirim ke nomor ini : 085210575970
    SMS Anda akan Kami balas secepatnya

    Maaf Program ini TERBATAS .

    BalasHapus
  2. The Best Casinos in USA - APRCasino
    It is https://deccasino.com/review/merit-casino/ one of the most well-known https://septcasino.com/review/merit-casino/ casino casinos, aprcasino and casinosites.one it is owned and operated by the Rincon Band of Luiseno Indians. There are over 100 different gri-go.com

    BalasHapus