Selasa, 06 Januari 2009

Mapeksi Kaltim

Sistem dan Struktur.
Suatu Transformasi Dalam Kerangka Zona Bebas Pekerja Anak
di Kutai Kartanegara

Semiarto Aji Purwanto
(Universitas Indonesia)



Pendahuluan
Tentu saya harus berterimakasih terlebih dahulu pada panitia yang telah memberi kesempatan dan kepercayaan pada saya untuk berbicara mengenai isu pekerja anak kali ini. Saya membayangkan peristiwa tiga-empat tahun yang lalu ketika dengan ILO mengadakan penelitian yang kemudian dicetak dalam buku ’Pekerja Anak di Pertambangan Informal di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sebuah Kajian Cepat’[1]. Namun kali ini saya harus bicara agak umum dan dalam konteks yang berbeda, yaitu mengenai sistem dan struktur yang dikaitkan dengan transformasi menuju kondisi bebas pekerja anak di Kutai Kartanegara.

Ada beberapa hal yang mesti saya ungkapkan dalam hal ini, sesuai dengan pengalaman dan pendekatan antropologi yang saya pelajari. Pertama, mengenai sistem dan struktur itu sendiri, lalu tempat anak-anak dalam struktur sosial, dan akhirnya pekerja anak dalam struktur sosial serta kemungkinan mentransformasikannya menuju kondisi bebas pekerja anak.

Sistem dan struktur, pendekatan antropologi
Dalam kajian ilmu-ilmu sosial, pembicaraan mengenai struktur biasanya terkait dengan konsep struktur sosial yang merupakan relasi antar posisi atau status dalam sebuah sistem sosial tertentu. Jadi pembicaraan tersebut berada dalam suatu kerangka besar, berupa sistem sosial, yang di dalamnya terdapat bagian-bagian dengan posisi atau status tertentu yang saling berhubungan. Dengan demikian ada sebuah jaringan hubungan sosial yang tercipta antar bagian dari sistem tersebut. Sistem(sosial)lah yang menjadi semesta pembicaraan atau the whole dari bahasan mengenai struktur sosial.

Dengan pengertian ini, maka segala gerak dan dinamika yang terjadi dalam sistem lalu dikendalikan oleh sebuah mekanisme penjaga keseimbangan sistem sehingga sebuah sistem sosial dapat bertahan. Mekanisme ini dalam ujud nyata sehari-hari akan berupa sejumlah nilai, norma, aturan, atau hukum yang mengatur perilaku manusia sebagai anggota sebuah sistem sosial. Oleh karena itu, maka seluruh hubungan atau relasi yang tercipta dalam struktur sosial seringkali bersifat tetap, mantap dan tidak gampang berubah meskipun individu-individu di dalamnya saling bergantian. Pertanyaaan yang cepat berkembang dari kondisi demikian adalah: apakah dengan demikian struktur akan selalu tetap? Bagaimana kemungkinan perubahan dapat terjadi? Apakah mungkin ada transformasi menuju keadaan tertentu?

Sebelum menjawab pertanyaan yang menjadi pokok pembicaraan dalam presentasi kali ini, saya coba berikan sedikit ilustrasi mengenai struktur sosial, sebagaimana yang saya pelajari dari guru-guru dan bahan bacaan saya sebagai antropolog. Bagi A.R. Radcliffe-Brown, struktur sosial merupakan bagian yang menjadi kunci pokok permasalahan antropologi sodial, yang dapat diamati dalam unit terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. Keluarga merupakan suatu struktur sosial, dengan bagian-bagian: ayah, ibu dan anak-anak. Anggota-anggota struktur tersebut bukan individu ayah, ibu atau anak, tetap status sebagai ayah, ibu dan anak. Sementara bagi Evans Pritchard, ahli antropologi Inggris sesudah Radcliffe-Brown, struktur sosial mempunyai bagian yang lebih luas dari sekedar keluarga, bagian-bagianya adalah unit kekerabatan yang menyusun suatu komunitas. Kalau kita memgambil contoh pada komunitas orang Batak, maka yang menjadi bagian dari struktur sosial komunitas Batak adalah marga-marga, yang tergabung dalam prinsip dalihan na tolu. Gambaran mengenai struktur sosial akan nampak lain lagi di mata B. Malinowski, yang menengarai bagian-bagian dari suatu masyarakat bukan pada satuan orang per orang tetapi pada institusi sosial yang ada dalam masyarakat. baginya struktur sosial yang membentuk masyarakat akan berujud institusi agama, ekonomi, kesehatan, politik, hukum, teknologi, kesenian dan pendidikan. Hampir mirip dengan pendekatan tersebut adalah struktur sosial masyarakat Jawa yang diungkapkan C. Geertz, yaitu pada varian-varian santri, abangan dan priyayi. Atau pada struktur yang dikemukan oleh K. Marx mengenai masyarakat Eropa abad ke XVIII, yaitu kelas kapitalis dan proletar. Begitulah struktur menurut para ahli antropologi sosial[2]; berbeda-beda tetapi mengandung dua elemen utama yaitu: bagian (parts) dan sistem sebagai sebuah keseluruhan (the whole) yang kita bicarakan.

Anak-anak dalam struktur sosial
Selanjutnya, sesudah memahami secara konseptual sistem dan struktur, persoalannya adalah dimana kita menempatkan anak-anak dalam struktur masyarakat? Tentu setelah sebelumnya menjawab: masyarakat mana yang akan kita bicarakan, karena setiap masyarakat mempunyai kemungkinan struktur sosial yang berbeda. Bagi Prof. Koentjaraningrat[3] yang banyak melakukan penelitian mengenai masyarakat Jawa, maka posisi anak-anak adalah pada bagian paling bawah dari sebuah keluarga dalam struktur sosial a’la Radcliffe-Brown. Anak-anak menjadi bagian yang paling bebas dalam arti sedikit sekali dikenakan mekanisme hukuman bagi mereka; mereka berada dalam duinia permainan yang lepas dari konsep benar-salah. Namun demikian, seperti juga diungkapkan oleh H. Geertz[4], mereka tetap harus berada dalam proses sosialisasi terus menerus untuk menjadi dewasa. Harus selalu belajar menjadi ’orang Jawa’, dengan mempelajari bagiaman bersifat ’hormat’, ’takut’, dan ’malu’ dalam konteks-konteks tertentu.

Dalam kondisi yang ideal, peran dan status anak-anak memang berada dalam keadaan yang digambarkan di atas. Namun pada dekade 1970-80-an Ben White[5] yang melakukan penelitian mengenai pertanian dan pedesaan di Jawa menemukan bahwa sebagian dari mereka tidak saja bermaain-main dan belajar untuk hidup sebagai orang dewasa, namun juga berkontribusi dalam kegiatan ekonomi. Keterlibatan mereka dalam aktivitas pertanian ternyata juga mesti diletakkan dalam kerangka ’mereka bekerja seperti orang dewasa’ dengan sejumlah tanggung jawab dan kontribusi atas ekonomi rumah tangga mereka. Temuan ini memperlihatkan bahwa posisi anak memang berperan ganda, sebagai taruna muda yang sedang dalam masa belajar dan sebagai bagian dari kegiatan ekonomi produktif dalam skala rumah tangga.

Gambaran demikian juga nampak pada konteks masyarakat perkotaan, terutama pada sektor ekonomi informal. Pemulung, pengamen, pengemis, loper koran, dan berbagai pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak jalanan, menunjukkan peran, status dan kontribusi mereka dalam rumah tangga. Pada masa krisis ekonomi, intensifikasi penggunaan tenaga kerja anak pada skala rumah tangga disinyalir juga semakin meningkat[6].


Pekerja anak dalam struktur sosial
Untuk melengkapi sinyalemen-sinyalemen di atas, saya coba hadirkan beberapa kasus yang saya ambil dari publikasi para peneliti dan media massa. Dengan ilustrasi di bawah ini, saya berharap kita dapat bersama-sama mengevaluasi dimana posisi anak-anak dalam struktur sosial masyarakat Kutai Kartanegara.

Boks 1. Anak-anak di perkebunan tembakau di Jawa Timur dan Sumatra Utara[7]

Anak-anak terlibat dalam pekerjaan di perkebunan tembakau karena didorong oleh faktor-faktor historis, sosial-kultural, dan sistem manajemen perkebunan. Faktor-faktor ini dalam prosesnya saling terkait dan menempatkan anak-anak sebagai tenaga kerja, baik sebagai tenaga kerja keluarga yang tidak diupah (di Deli Serdang), maupun yang diupah karena hubungan kerja secara individu dan langsung dengan perusahaan perkebunan tembakau (di Jember).

Secara sosio-kultural, anak-anak tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat perkebunan tembakau yang relatif homogen dan terisolir. Dalam lingkungan yang demikian, kerja tembakau telah tersosialisasikan sejak dini karena sejak mereka lahir lingkungan kerja tembakau menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Kondisi kehidupan masyarakat perkebunan di kedua lokasi juga menjadi faktor penentu keterlibatan anak bekerja. Masyarakat perkebunan pada umumnya, menggantungkan hidup sepenuhnya dari kegiatan perkebunan. Keberlangsungan rumah tangga pekerja anak di Jember sangat mengandalkan kontribusi hasil kerja anak-anak. Keterlibatan anak-anak dimaknai sebagai kewajiban yang harus dilakukan bagi orang tua. Hal ini diperkuat oleh sanksi sosial dan moral dari keluarga dan lingkungan komunitas terhadap anak-anak yang tidak bekerja.

Di Deli Serdang, sifat keterlibatan anak-anak dalam kerja tembakau yang dipaksakan pada usia dini didorong oleh sistem manajemen perkebunan yang menerapkan sistem borongan, sehingga seorang Karyawan Harian Tetap (KHT) harus melibatkan seluruh anggota keluarganya, termasuk anak-anak. Sebagai tenaga kerja keluarga yang tidak diupah, anak-anak mengalami eksploitasi ganda, yaitu oleh orang tua dan manajemen perkebunan yang sangat kapitalis. Intensitas keterlibatan mereka relatif tidak jauh berbeda dengan orang dewasa. Beban kerja mereka yang berat berisiko mengancam kesehatan dan mengurangi konsentrasi belajar di sekolah.

Keterlibatan anak-anak di perkebunan tembakau di Deli Serdang juga memperlihatkan nuansa kerja paksa. Pada batas-batas tertentu, sebagai dampak dari sistem manajemen kerja dan sistem kesejahteraan yang diterapkan perkebunan, sifat keterlibatan mereka dalam kerja menjadi mengikat karena ketergantungan orang tua terhadap bantuan anak sangat tinggi dan tak bisa ditawar.

Dari kondisi-kondisi di kedua lokasi penelitian, dapat disimpulkan bahwa bekerja di perkebunan tembakau merupakan wujud eksklusivitas komunitas perkebunan. Dalam arti, kemungkinan untuk berpenghasilan dari sumber di luar perkebunan sangat tipis, selama mereka berada di lingkungan komunitas perkebunan. Sistem manajemen perkebunan yang terkait erat dengan struktur sosial masyarakat dan telah berlangsung puluhan tahun menciptakan tembok yang memisahkan masyarakat perkebunan dengan perkembangan dan peluang di luar lingkungannya. Hanya mereka yang keluar dari lingkungan perkebunan yang dapat meningkatkan taraf hidup.

Dalam struktur sosial masyarakat perkebunan tembakau, baik di Jawa Timur maupun di Sumatra Utara, rupanya, posisi anak memang menempati status sebagai pekerja. Dia tidak berbeda dengan laki-laki maupun wanita dewasa yang harus terlibat dalam proses produksi. Terpaksa atau tidak, itulah yang dikehendaki oleh struktur sosial dalam struktur sosial masyarakat perkebunan. Lalu bagaimana dengan posisinya sebagai taruna muda yang sedang berada dalam proses belajar? Kasus pekerja anak-anak di Nusa Tenggara pada boks berikut memperlihatkan bagaimana pendidikan berperan dalam hal ini


Boks 2 Pekerja anak di Nusa Tenggara[8]

Tingkat keberlanjutan pendidikan relatif rendah. Dropout umumnya terjadi pada tahun-tahun terakhir SD. Namun mereka yang telah masuk SMP relatif kecil kemungkinannya untuk dropout. Rumah tangga yang memiliki anak dropout biasanya memiliki tekanan ekonomi yang lebih besar dari rumahatangga yang anaknya bersekolah.

Anak-anak SMP berasal dari rumah tangga yang memiliki status ekonomi lebih baik dan memiliki lebih banyak sumberdaya dibandingkan rumah tangga anak dropout. Mereka biasanya mempunyai usaha rumah tangga (pertanian), kepala rumah tangganya berpendidikan, memiliki penghasilan bulanan dan tanah. Anak perempuan biasanya harus keluar sekolah jika rumah tangga memiliki sumberdaya terbatas atau jika mereka dibutuhkan untuk bekerja. Hampir sepertiga dari orangtua yang anaknya dropout tidak mengetahui tentang peraturan program wajib belajar. Pengetahuan tentang program wajib belajar tertinggi di Ndona, sementara di Kediri dan Tarus terlihat lebih rendah.

Biaya sekolah (transport,makanan, pakaian seragam dan peralatan sekolah) memberatkan bagi umumnya orang tua siswa SMP. Biaya transport merupakan biaya tambahan yang dialami anak SMP karena lokasi SMP yang jauh dari rumah.

Keterlibatan dan peran ekonomi anak di dalam ekonomi rumah tangga terbukti tidak berpengaruh terhadap alasan mengapa anak tidak bersekolah. Hampir 60 persen siswa SMP pernah bekerja pada semester yang lalu. Anak yang bekerja, baik yang masih bersekolah maupun yang dropout, biasanya berasal dari keluarga dari rumah tangga yang memiliki usaha ekonomi. Kurang dari duapertiga pada anak yang dropout bekerja pada saat survei, umumnya sebagai pekerja keluarga di pertanian. Anak perempuan lebih mudah terserap dalam kegiatan ekonomi rumah tangga dibandingkan laki-laki.

Kesempatan kerja sangat terbatas menyebabkan mereka yang dropout memiliki peluang yang sangat kecil untuk bekerja di sektor formal. Sementara itu industri rumah tangga juga terbatas. SMP Terbuka dan Program Paket B sangat berhasil dalam memberikan kesempatan pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Di ketiga lokasi penelitian orang tua umumnya menilai tinggi penddidikan bagi anak. Sebagian besar menganggap bahwa pendidikan yang baik untuk anak adalah SMP atau yang lebih tinggi. Hanya sebagian kecil orang tua (kebanyakan dari mereka yang memiliki anak dropout) beranggapan bahwa anak perempuan tidak perlu bersekolah lebih tinggi dari SD.

Pendidikan bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur dan Barat yang diteliti memang merupakan sebuah institusi yang dianggap baik. Terbukti dari sebagain besar merasa perlu menyekolahkan anaknya ke jenjang SMP atau yang lebih tinggi lagi. anak yang mana yang perlu sekolah? Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki dan perempuan diharapkan bersekolah terus. Namun, biasanya, anak perempuan cenderung akan diminta keluar dari sekolah oleh orangtua apabila keluarga merasa perlu untuk melakukannya dengan alasan ekonomi. Anak perempuan pada pasar tenaga kerja lebih mudah diserap. Nampaknya ide pendidikan oleh kebanyak masyarakat kita masih dianggap sebagai hal yang ideal. Saya tidak yakin betul apakah hal yang ideal ini akan dengan segenap tenaga diusahakan untuk dicapai karena ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Dalam studi mengenai masyarakat Nusa Tenggara pada boks di atas, pendidikan orang tua dan kondisi ekonomi yang lebih baik sangat berpengaruh pada kelangsungan pendidikan. Struktur sosial masyaraktnya dengan demikian nampak tersusun oleh bagian-bagian yang menampilkan faktor pendidikan dan ekonomi. Anak-anak yang berasal dalam keluarag kurang mampu akan berada dalam lapisan bawah dan terpaksa keluar sekolah untuk terjun ke lapangan kerja.

Mengapa anak-anak tetap dimasukkan ke dalam tenaga kerja, walaupun orangtua sepenuhnya memahami pentingnya masa kanak-kanak sebagai masa pendidikan? Jawaban paling gampang tentui karena persoalan ekonomi. Namun apabila dicermati, saya yakin bahwa ada persoalan struktur sosial yang memungkinkan anak-anak masuk ke dalam pasar tenaga kerja. Apabila struktur sosialnya menolak ide ’anak bekerja’, maka perangkat atura berupa hukum akan menjaganya. Namun apabila struktur tersebut tunduk dengan praksis yang bersandarkan pada hukum kemiskinan, maka perubahan dengan cepat terjadi, dan fenomena anak yang bekerja lalu dapat ditolerir. Anak-anak tersebut berada dalam keluarga yang kurang mampu secara ekonomi. Di sisi lain, pengusaha membutuhkan input produksi murah; anak-anak terutama perempuan seperti pada kasus di Nusa Tenggara lalu dengan cepat ditampung pasar tenaga kerja. Input produksi rendah juga menjadi alasan utama para pengusaha jermal di Sumatra Utara untuk mempekerjakan anak, bahkan anak laki-laki.

Boks 3. Mengapa para pemilik jermal mau mempekerjakan anak? [9]
Pertanyaan ini layak mengemuka karena kenyataannya masih banyak anak dipekerjakan di jermal sementara peraturan di Indonesia telah dengan tegas melarangnya. Alasan utama pemakaian pekerja anak di jermal adalah, biaya yang murah dan pekerja yang penurut. Seorang anak yang bekerja di jermal sudah cukup senang dengan gaji Rp 100.000 per bulan. Selain itu, seorang anak pekerja jermal jelas akan sangat menurut kepada mandornya karena secara fisik memang kalah segalanya.
Maman Natawijaya, Chief Monitoring Expert ILO/IPEC mengatakan bahwa pekerja jermal yang anak-anak taat kepada sistem gaji bulanan itu. Dengan sistem ini, banyak atau sedikit hasil kerja mereka, gaji yang didapat tetap. Tapi, untuk mencegah agar pekerja anak ini tidak bermalas-malasan, pemilik jermal biasanya sudah menggaji mandor-mandor yang keras dan tegas, bahkan sering kejam.
"Saat ini sudah banyak pekerja jermal dewasa yang menuntut upah dengan sistem bagi hasil. Jadi, para pemilik jermal jelas ingin mengurangi pengeluaran dengan mengambil pekerja-pekerja anak," papar Maman. Walau lebih murah, pekerja anak jelas mempunyai kekurangan dibandingkan dengan pekerja dewasa antara lain dalam hal kekuatan fisik. Untuk itu, seorang pemilik jermal akan melakukan kombinasi terbaik antara pekerja dewasa dan pekerja anak-anak.
Seorang pemilik jermal perlu mengeluarkan uang sekitar Rp 500 juta sampai Rp 750 juta untuk membangun sebuah jermal. Mahalnya biaya untuk membangun jermal yang kumuh ini disebabkan mahalnya biaya transportasi dan biaya pemasangan. Dengan letaknya yang jauh di tengah laut, jelas pembuatan sebuah jermal membutuhkan kapal-kapal besar untuk membawa balok-balok kayu penyangga. Juga tukang-tukang yang ahli bekerja di tengah gelombang. Setelah berjalan, sebuah jermal besar rata-rata bisa menghasilkan sekitar 500 kilogram ikan teri per bulannya. Dengan harga ikan teri kualitas tinggi yang sekitar Rp 30.000 per kilogramnya, sebuah jermal bisa mendatangkan uang minimal Rp 15 juta per bulan.
Dari begitu besarnya biaya pembuatan, jelas pemilik sebuah jermal ingin kembali modal secepat mungkin. Dan, salah satu cara untuk itu adalah dengan menekan pengeluaran lewat pemakaian pekerja anak. Pada sebuah jermal besar, yaitu berukuran luas tapak sekitar dua kali lapangan basket dengan luas bangunan pengolah seluas lapangan bulu tangkis, biasanya bekerja sekitar 10 pekerja. Sekitar empat sampai enam di antaranya adalah pekerja anak, atau pekerja muda. Pekerja anak melakukan kerja persiapan penarikan dan penurunan jaring. Dalam menarik jaring, karena tenaga mereka lebih kecil, sering mereka melakukannya beramai-ramai.
Dalam sebuah jermal, pekerja dengan pangkat tertinggi adalah juru masaknya. Kerja orang ini sangat menentukan pemasukan sebuah jermal, sebab mutu ikan olahan yang keluar dari jermal sangat tergantung kepiawaian orang ini dalam mengolahnya. Setelah terangkat dari jaring, ikan-ikan teri itu langsung dimasak dalam kuali besar. Besar kecilnya api juga mempengaruhi mutu ikan olahannya nanti. Bahkan, kalau hari sedang hujan, ikan teri yang dimasak tidak bisa dijemur melainkan dipertahankan dalam kuali di atas api. Kalau api terlalu besar, teri-teri itu akan remuk menjadi bubur, sementara kalau api terlalu kecil basilah masakan itu.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pada tahun 1998, juga melakukan studi mengenai hubungan antara kemiskinan dan anak-anak yang bekerja. Temuannya menunjukkan berbagai faktor historis dan kulutral yang menyebabkan mengapa anak terlibat sebagai bagian dari tenaga produksi. Struktur sosial yang terbangun dari interaksi antara sistem nilai budaya tradisional, yang sebagian besar menempatkan anak-anak dalam periode bermain dan belajar untuk hidupa sebagai orang dewasa, lalu perlahan berubah menuju ke pada sisi komersialisasi anak. Saya harus berhati-hati di sini, karena ide pendidikan yang berasal dari Barat, melalui kapitalisme, sebenarnya juga menempatkan anak-anak dalam posisi belajar bukan tenaga produktif. Oleh karena itu sistem ekonomi pasar dalam hal ini menampakkan dua muka: melibatkan anak-anak dalam pasar tenaga kerja karena keterpaksaan kondisi ekonomi rumah tangga orangtua, dan menempatkan anak-anak sebagai murid dalam sistem belajar di sekolah.

Boks 4. Pekerja anak Indonesia[10]

Secara historis pada masa pemerintah kolonial Belanda, mayoritas anak-anak bangsa Indonesia asli (Bumiputra) tidak dapat mengenyam pendidikan formal, sehingga sebagian besar dari mereka harus bekerja pada pertanian-pertanian skala besar maupun industri-industri yang dikelola oleh Hindia Belanda (Geertz, 1971). Hanya sebagian kecil anak-anak orang Indonesia (priyayi dan bangsawan), maupun orang Golongan Timur Asing atau yang dipersamakan dengannya yang diperbolehkan mengikuti pendidikan-pendidikan formal. Perlakuan yang berbeda-beda terhadap berbagai golongan masyarakat yang ada di Indonesia, yang dituangkan dalam Indische Staatsregeling (131 IS) memberikan implikasi tidak hanya pada dualisme aturan/hukum yang dipergunakan, tetapi juga berdampak pada kehidupan sosial yang lebih luas, termasuk hak sosial dan politik. Kondisi masyarakat yang berlapis dan diskriminatif dengan lapisan atas yang jumlahnya sedikit (priyayi) dan sebagian terbesar pada lapisan bawah (wong cilik), mengakibatkan sebagian besar anak-anak Indonesia pada masa itu telah akrab dengan "bekerja" baik di sektor domestik maupun sektor publik yang bermotifkan pada membantu kehidupan keluarga (Mulder, 1996).

Kemiskinan yang lekat dengan golongan lapisan bawah pada sebagian terbesar masyarakat Indonesia dijadikan sebuah alasan pembenar terhadap praktek-praktek mempekerjakan anak dalam usaha untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga, baik oleh orang tuanya sendiri maupun oleh pihak pengusaha. Mereka pada umumnya dipekerjakan di pabrik-pabrik Belanda seperti di pabrik gula, pabrik rokok (klobot), batik, teh, kopi, kulit, ubin/lantai, dan pabrik-pabrik lainnya dengan jam kerja antara 8 -10 jam sehari (Achdian dan Aminudin, 1995). Meskipun terdapat beberapa aturan hukum yang melarang mempekerjakan anak dibawah usia, seperti: Ordonantie 17 Desember 1925 (Staatsblad (Stb. No.647) yang diperbaharuhi dengan Ordonantie No. 9 tahun 1949 mengenai perubahan peraturan tentang pembatasan kerja anak-anak, dan Ordonantie 27 Februari 1926, (Stb. No. 87) mengenai peraturan tentang pekerjaan anak dan orang muda di kapal.

Akan tetapi aturan-aturan tersebut masih mengandung sikap ambivalensi. Sikap ambivalensi peraturan hukum tersebut terlihat dari adanya klausula pengecualian (discretion clausule) yang membuat kepastian hukum terhadap pelarangan mempekerjakan anak di bawah usia kerja menjadi kabur. Sebagai contoh, Pasal 2 Ordonantie 27 Februari 1926 menyebutkan: ‘Anak dibawah umur 12 tahun tidak boleh menjalankan pekerjaan di kapal, kecuali bila ia bekerja di bawah pengawasan ahlinya atau seorang keluarga sampai derajat ketiga.’ Demikian juga halnya pada Ordonantie 17 Desember 1925 yang memberikan batasan terhadap bidang-bidang pekerjaan yang tidak diperbolehkan untuk anak-anak. Keadaan inilah yang antara lain memberikan celah hukum terhadap praktek pekerja anak di masa kolonial Belanda. Begitu pula dengan sikap sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap praktek ini melalui proses enkulturasi "bekerja membantu orang tua" dan terbatasnya fasilitas pendidikan formal bagi mereka, yang telah menciptakan iklim yang subur terhadap praktek pekerja anak. Kondisi ini berlangsung hingga akhir abad ke 19, khususnya pada saat liberalisasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan munculnya perkebunan-perkebunan raksasa swasta yang justru lebih menyengsarakan kehidupan para petani di Jawa dan meningkatnya eksploitasi terhadap pekerja anak (Geertz, dalam Koentjaraningrat, 1984).

Pada awal abad ke-20, sebagian kecil petani (lapisan bawah) dan orang-orang pribumi menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Mereka mulai mengirimkan anak-anak mereka pada sekolah-sekolah desa (Volkscholen), meskipun pendidikan formal untuk mereka masih sangat terbatas (Koentjaraningrat, 1984). Sikap ini telah merintis perbaikan terhadap kehidupan anak Indonesia. Setitik harapan buat masa depan anak Indonesia secara berangsur-angsur telah melahirkan beberapa generasi muda terpelajar pada masa awal abad 20-an, yang kemudian telah memberikan suatu momentum perjuangan Bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari kolonialisme dunia. Akan tetapi, sebagian terbesar anak-anak Indonesia khususnya yang berada di desa-desa masih terbelenggu oleh nilai-nilai dominannya (dominat values) yang secara kultural (culturally rooted) bekerja untuk membantu kehidupan keluarga, baik di sektor publik (pada umumnya laki-laki) maupun yang di sektor domestik (pada umumnya perempuan). Keadaan anak yang bekerja di desa-desa membantu kehidupan orang tua merupakan suatu pemandangan yang umum, bahkan para remaja pun telah keluar dari desanya untuk sekolah dan bekerja sebagai usaha untuk membiayai sekolah.

Tampaknya kemiskinan dan keterbatasan pendidikan masyarakat desa merupakan medium yang permisif terhadap praktek pekerja anak. Keadaan ini terutama diterima oleh sebagian besar anak perempuan, khusunya di Jawa. Stereotipe masyarakatnya masyarakat Jawa cenderung mensosialisasikan anak perempuan untuk bekerja membantu pekerjaan di rumah (pada sektor domestik) dan tidak perlu untuk mengenyam pendidikan yang tinggi. Hal ini membuat terganggunya pertumbuhan dan perkembangan anak.


Secara historis kita melihat bahwa struktur sosial masyarakat Indonesia memang sedang berubah. Kita menyaksikan bahwa interaksi budaya setempat dengan unsur asing baik berupa penjajahan, pengenalan sistem ekonomi kapitalisme dan saat ini dengan revolusi informasi, telah terjadi dinamika sosial yang luar biasa. Sebuah revolusi sosial tengah terjadi. Berbagai kontradiksi, ambivalensi dan konflik kepentingan muncul. Ini adalah bagian dari kontestasi peran yang harus dilihat sebelum menempatkan anak-anak dalam struktur sosial suatu masyarakat.


Dalam kajian yang saya lakukan di Kutai Barat, sektor pertambagan emas informal di sungai Kelian, telah menjadikan wahana yang tepat bagi anak-anak untuk bersosialisasi dan belajr makna hidup yang keras ini. Struktur sosial masyarakat pendatang yang longgar, karena sedang dalam proses adaptasi untk menyesuaikan dengan lingkungan baru, menyebabkan toleransi atas anak yang bekerja menjadi tinggi. Suasana kerja yang berselimutkan permainan, ’nyaman’, dengan jam kerja yang sesuka hati anak-anak telah membuat fenomena anak bekerja di sektor pertambangan informal ini menjadi masuk akal. Ada bahayanya? Jelas, karena eksposur bahan kimiawi relatif tinggi, pergaulan dengan pekerja emas dewasa akan mempengaruhi kondisi psikologis anak-anak, penggunaan obat-obatan peningkat stamina kerja-rokok-alkohol oleh pekerja dewasa dengan cepat diikuti anak-anak. Untuk mengeliminasi begitu saja dengan melarang anak bekerja tentu menadi naif karena serangkaian bahaya itu tidak nampak oleh persepsi masyarakt setempat. Karenanya perlu dicarikan modus dan substitusi yang tepat, terutama dalam hal wahana yang paling tepat bagi anak untuk bersosialisasi.

Penutup

Transformasi kepada zona bebas pekerja anak, sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kuta Kartanegara, tentu harus didukung oleh segenap pihak. Namun dukungan tersebut juga harus disertai dengan pemahaman mengenai dinamika sosial yang terjadi pada wilayah ini. Sebagai daearh yang potensial dengan sumberdaya alam, sebagian sudah tergarap dan menjadi asset daerah, sistem ekonomi pasar menampakkan perujudan yang nyata. Oleh karena itu perlindungan kepada anak-anak sebagai subbagian dari masyarakt harus dilakukan. Saya yakin bahwa perlindungan yang terbaik bagi pekerja anak adalah dengan menghapuskan ide pekerja anak tersebut[11]. Paling mudah adalah dengan mengawasi pasar tenaga kerja di bidang industri; peraturan dan sanksi yang ketat akan mengeliminir pekerja anak. Lebih berat sedikit, adalah pada sektor pertanian dan ekonomi pedesaan serta sektor informal di perkotaan. Perlindungan pekerja anak dengan cara eliminasi pekerja anak harus serentak dengan program pendidikan dan peningkatan ekonomi rumah tangga.

Catatan belakang

[1] Terbit sebagai hasil kajian Laboratorium Antropologi FISIP Universitas Indonesia dan Program Internasional Penghapusan Pekerja Anak/IPEC, Pekerja Anak di Pertambangan Informal di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sebuah Kajian Cepat. ILO tahun 2004.

[2] Para ahli antropologi sosial dengan karya-karyanya, seperti A.R. Radcliife Brown (1952) Structure and function in primitive society. London:Cohen & West, B. Malinowskiv(1961) The Argonauts of Western Pacivic. New York:E.P.Dalton and Co., dan E.E.Evans-Pritchard (1962) Social anthropology and other essays. New York:Free Press, mengembangkan teori-teori mengenai masyarakat dan struktur sosial dengan penekanan yang berbeda. Sementara para ahli antropologi yang lain, seperti C. Geertz meninjau struktur sosial dengan karya etnografinya, Geertz, Clifford (1983) Santri, abangan, priyayi dalam masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

[3] Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN. Balai Pustaka.

[4] H. Geertz (1983) Keluarga Jawa. Jakarta:Grafiti Press

[5] Benjamin White dan Tjandraningsih. (1998). Child Workers in Indonesia. Bandung: AKATIGA
[6] Sebuah media massa di Jakarta, tahun 2002, mengutip Kepala Humas Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) Bambang Budi Setiawan menyatakan bahwa akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, jumlah pakerja anak di Indonesia berdasarkan perkiraan ILO telah membengkak menjadi enam sampai delapan juta tahun ini. Pekerja anak yang berada di sektor terburuk di Indonesia jumlahnya diperkirakan meningkat drastis. Di samping masalah krisis ekonomi, situasinya juga diperburuk karena belum adanya kesadaran masyarakat dan instansi pemerintah akan masalah tersebut. Berdasarkan data BPS tahun 2000, fenomena pekerja anak di Indonesia hanya 2,3 juta. Mereka berusia antara 10-14 tahun yang bekerja secara ekonomi aktif.
[7] Diambil dari buku Pekerja Anak Di Perkebunan Tembakau. Bandung: Akatiga, hasil studi Indrasari Tjandraningsih & Popon Anarita (2002)

[8] Bahan diambil dari hasil peneltian Daliyo, Marian May, Phillip Guest dan Riwanto Tirtosudarmo berjudul Pekerja Anak dan Perencanaan Pendidikan di Nusatenggara Barat dan Nusatenggara Timur. Dipersiapkan untuk The Indonesia-Australia Population-Related Research for Development Planning and Development Assistance Project, Agustus 1998

[9] Bahan diambil dari artikel di Kompas, Jumat, 26 Juli 2002, ’Teri Medan dan Pekerja Belia’

[10] Bahan diambil dari buku Membangun Jaringan Kerjasama Hak Asasi Manusia. Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 1998

[11] Para pengamat isu pekerja anak melihat ada paling tidak tiga pendekatan untuk menyelesaikan masalah pekerja anak, yaitu dengan: penghapusan (eliminasi), perlindungan (proteksi) dan pemberdayaan. Pendekatan eliminasi mencerminkan pandangan bahwa dunia anak ya hanya untuk bermain dan belajar, mereka menolak sama sekali ide ada anak yang bekerja. Karenanya setiap melihat fenomena anak bekerja, penyelesaiannya adalah dengan menghapuskan praktek tersebut, entah bagaimana caranya. Kalau ternyata susah untuk memnghapuskannya, maka yang harus dilakukan adalah melindungi anak-anak yang terpaksa bekerja. Sementara, karena penyebab anak yang bekerja diyakini berasalh dari faktor-faktor struktural, maka pemberdayaan ekonomi rumah tangga dan pendidikan lalu menjadi salah satu pilihan untuk menyelesaikan masalah ini. Lihat tulisan Haryadi, D & N.Sukarna yang dimuat di harian Kompas 24 Juli 1999 Buruh Anak Sebagai Perbudakan.
Keterangan :
Paper ini disampaikan dalam SEMILOKA REFLEKSI DAN EVALUASI PROSPEK ZONA BEBAS PEKERJA ANAK DI KUTAI KARTANEGARA Tanggal 20 Juni 2006 di Hotel Singgasana Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. yang dilaksanakan Oleh Mapeksi Kaltim

PENGHAPUSAN ATAU PEMANUSIAAN PEKERJA ANAK

PENGHAPUSAN ATAU PEMANUSIAAN PEKERJA ANAK?

Oleh: Prof. Dr. Muhadjir Darwin
Magister Studi Kebijakan
Universitas Gadjah Mada


“Anda tidak fair! Anda berulangkali mengatakan, pekerja anak harus dihapuskan. Anak tidak boleh bekerja, mereka harus dilindungi dan seluruh haknya harus diakui sesuai apa yang tercantum dalam CRC (Konvensi Hak Anak). Tapi hak anak juga termasuk hak untuk bekerja. Kalau anda tadi menyebut bahwa kemiskinan merupakan salah satu sebab utama mengapa anak memasuki pasar kerja, bagi kami, bekerja merupakan tanggung jawab untuk membantu keluarga.

(Seorang anak, wakil dari Children’s Press, menanggapi pendapat Marjue Newman-William, Wakil Direktur Divisi Evaluasi, Kebijakan, dan Perencanaan Dana PBB untuk Anak (UNICEF), pada pertemuan Pers di Oslo, Norwegia, 27 Oktober 1997).


PENDAHULUAN
Pekerja anak telah lama menjadi isu publik, dan telah lama pula terbangun komitmen global untuk mengatasi masalah tersebut. Sejak tahun 1919, ILO telah mengadopsi lebih dari 15 konvensi yang menyangkut atau relevan dengan permasalahan pekerja anak. Diantara konvensi-konvensi tersebut, konvensi komprehensif yang sangat relevan dengan masalah pekerja anak adalah Konvensi No: 138/1973 mengenai batasan usia minimum untuk bekerja (minimum admission to work) dan Konvensi No: 182/1999 mengenai bentuk-bentuk terburuk pekerja anak (worst forms of child labour).
Indonesia adalah salah satu negara pertama yang terpilih untuk ikut dalam Program Penghapusan Buruh Anak-Anak Internasional (IPEC), dan menandatangani sebuah nota kesepahaman dengan ILO pada 1992 untuk memimpin kerja sama di bawah program ini. Pemerintah dan ILO menandatangani sebuah nota lain mengenai buruh anak-anak pada Maret 1997 yang mengikat mereka dalam kesepakatan untuk memajukan persyaratan yang memungkinkan pemerintah melindungi buruh anak-anak dan secara bertahap melarang, membatasi dan mengatur buruh anak-anak dengan tujuan akhir menghapuskannya. Pada Bulan Desember Menteri Tenaga Kerja ketika itu, Fahmi Idris, menandatangani sebuah nota minat, disaksikan Presiden Habibie dan direktur ILO di Jakarta, yang mewajibkan pemerintah untuk meratifikasi konvensi ILO tentang usia buruh minimum paling lambat Juni 1999. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menentukan bahwa setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang sehingga orang tua dilarang menelantarkan anaknya. Orang tua dapat dikenakan sanksi hukuman kurungan yang cukup berat, termasuk perusahaan, jika mempekerjakan anak di bawah umur.
Sementara itu pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara melalui Perda No.9 Tahun 2004 telah mencanangkan daerahnya sebagai Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA), dengan menentukan target-target pencapaian waktu (time limit) bahwa tahun 2007 tidak akan lagi pekerja anak di bawah usia 15 tahun, dan anak-anak sampai batas usia tersebut telah memperoleh wajib belajar 9 tahun. Pada akhir lima tahun kedua (2112), anak di bawah usia 18 tahun sepenuhnya harus telah memperoleh wajib belajar 12 tahun.
Pertanyaan yang perlu di bahas dalam hal ini adalah apakah target-target yang dicanangkan oleh Kukar dapat tercapai, dan bagaimana mencapainya? Bagaimana menjamin agar pencapaian target ZBPA memberi implikasi pada kesejahteraan dan masa depan anak, bukan sebaliknya? Jika ZBPA menjadi model untuk diterapkan di daerah-daerah lain di Indonesia, mampukan daerah-daerah tersebut mencapainya? Jika pun mampu, apakah perlu?
Perlu diketahui, negara-negara maju yang telah lama mengalami industrialisasi dan mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi yang tinggi hingga sekarang belum sepenuhnya terbebas dari masalah pekerja anak (White, 1994). Indonesia, yang hingga sekarang masih dililit oleh krisis ekonomi, angka kemiskinan yang tinggi, proporsi penduduk yang bekerja di pertanian yang juga masih tinggi, dan aspirasi pendidikan yang masih rendah di kalangan penduduk miskin, mempunyai tantangan yang lebih berat untuk mengeluarkan anak dari dunia kerja. Jika pemerintah bersikeras untuk membebaskan anak dari seluruh bentuk pekerjaan, menjadi pertanyaan apakah hal itu menguntungkan bagi masa depan anak?[1]
Gagasan membebaskan anak dari pekerjaan didasarkan pada asumsi bahwa pekerja anak rentan mengalami eksploitasi, marginalisasi, kekerasan, dan terancam mengalami gangguan fisik dan mental. Namun dalam kenyataannya tidak semua pekerjaan anak berbahaya, dan tidak semua anak mengalami akibat buruk seperti yang digambarkan di atas. Jika begitu, apakah solusinya adalah melarang mempekerjakan anak untuk semua kasus, atau hanya melarang mempekerjakan anak sejauh pekerjaan tersebut berbahaya bagi anak dan membuat aturan agar pekerja anak terlindung dari risiko buruk?
Alasan lain untuk melarang anak bekerja adalah karena pekerjaan dapat mengganggu anak dalam belajar. Banyak anak drop out dari sekolah atau prestasi belajarnya berkurang karena bekerja. Jika begitu, apakah solusinya harus melarang anak sekolah bekerja atau model pendidikanlah yang seharusnya disesuaikan agar sesuai dengan situasi dan kebutuhan pekerja anak? Paper ini bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.


DEFINISI PEKERJA ANAK

Secara umum pekerja atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Suyanto, 2003:3). Sementara itu, batasan usia anak ternyata cukup variatif. UU Nomor 25/1997 tentang Ketenagakerjaan ayat 20 menyebutkan bahwa yang dimaksud anak adalah orang laki-laki atau perempuan yang berumur kurang dari 15 tahun. BPS dalam penyajian data statistik membatasi pekerja anak sebagai penduduk yang berumur 10-14 tahun. Sementara itu, ILO memberi batasan pekerja anak lebih luas, yaitu pekerja yang berumur di bawah 18 tahun.
Dengan definisi anak sebagai penduduk usia 10-14 tahun, pada tahun 2003 Indonesia memiliki 566,5 ribu pekerja anak atau 2,8 persen terhadap total anak pada usia tersebut. Angka ini lebih rendah dibanding tahun 2001, yaitu sebanyak 948,7 jiwa (4,6 persen). Jika dipisahkan antara daerah perdesaan dan perkotaan, terlihat bahwa proporsi pekerjaan anak lebih tinggi di perdesaan. Namun di keduanya, terjadi penurunan proporsi pekerja anak secara konsisten. Penurunan jumlah pekerja anak juga terjadi di Kutai Kartanegara. Pada tahun 2000 jumlah pekerja anak adalah sebesar 11.632 anak. Angka ini turun menjadi 3.012 anak pada tahun 2005.
Namun perlu dicatat bahwa angka pekerja anak yang terdata dalam survai BPS tidak mencerminkan seluruh pekerja anak. Seperti yang dikatakan demograf Terence H. Hull (dikutip Irwanto, 1996:47):

...menggambarkan bahwa membaca statistik angkatan kerja di Indonesia sama seperti menonton wayang kulit. Kita hanya dapat melihat bayang-bayang di balik layar yang merupakan representasi suatu realitas yang telah didistorsi. Statistik angkatan kerja kita diperoleh berdasarkan suatu definisi yang relevan bagi negara-negara di Eropa dalam era revolusi Industri dan upaya kelas pekerja untuk mengontrol pemerintahan, terutama pada tahun 1930an di mana kelas pekerja (working class) sedang berkembang dengan pesat. Indonesia yang berkembang secara ekonomi saat ini mempunyai setting yang berbeda dengan negara-negara tersebut, terutama karena banyaknya individu yang bekerja di sektor informal sehingga tenaga wanita dan anak kurang diwakili dalam statistik.

Anak-anak yang bekerja membantu orang tua di sawah, anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, anak yang dilacurkan, anak yang menjadi pengedar narkoba, atau anak jalanan, besar kemungkinan tidak tercermin dalam survai. Mereka yang bekerja di sektor-sektor tersebut sangat boleh jadi jumlahnya lebih besar, sehingga tren penurunan pekerja anak seperti yang dikemukakan di atas belum tentu mencerminkan realitas.

Dalam konteks eliminasi pekerja anak, pada umumnya, fokus perhatian dari para pengambil kebijakan tidak pada seluruh jenis pekerjaan, tetapi lebih kepada pekerjaan yang bersifat produktif, di luar rumah atau untuk orang lain, dibayar, skala besar, dan sebagai pengganti sekolah. Sementara itu pekerjaan yang bersifat reproduktif, di rumah atau untuk orang tua, tidak dibayar, skala kecil, dan sambil sekolah, tidak dianggap sebagai masalah, sehingga keluar dari pengertian pekerja anak.
Lebih jauh lagi, meskipun penghapusan pekerja anak dijadikan sebagai tujuan jangka panjang, dalam jangka dekat upaya eliminasi pekerja anak lebih dofokuskan pada bentuk-bentuk pekerjaan yang memberi dampak buruk pada anak. Program IPEC/ILO, misalnya, memberi penekanan pada anak yang mengalami situasi-situasi sebagai berikut (Putranto, 1994):
Anak-anak yang dalam bekerja telah dirampas hak-haknya sebagai pribadi. Ini dikenal sebagai bounded labour. Dalam kasus ini, anak tidak memperoleh upah dan dikerjakan secara paksa.
Anak-anak yang bekerja di bawah tekanan yang sangat kuat, walau upah masih diberikan. Tipe pekerjaan ini dapat ditemui dalam kasus anak yang bekerja pada jermal-jermal liar di Sumatra Utara atau anak-anak yang dilacurkan.
Anak-anak yang bekerja pada pekerjaan berbahaya, baik bagi keselamatan jiwa maupun kesehatan fisik dan mentalnya. Berbagai kasus anak yang bekerja di berbagai tempat pembuangan sampah atau di pertambangan telah menjadi prioritas IPEC di Indonesia.
Anak-anak yang bekerja pada usia yang masih sangat muda, di bawah 12 tahun. Jumlah mereka tidak mudah untuk diperkirakan karena tidak tercantum dalam statistik angkatan kerja dan sering tidak dilaporkan (Irwanto, 1996:52).



KENAPA ANAK BEKERJA?

Kemiskinan
Salahsatu penyebab utama kenapa anak-anak di bawah umur terpaksa bekerja adalah kemiskinan. Pada keluarga miskin, anak merupakan jaminan hidup keluarga karena tenaganya memberikan sumbangan penghasilan keluarga. Penelitian oleh LeVine menunjukkan bahwa tujuan mempunyai anak pada masyarakat miskin lebih bersifat kuantitatif, artinya semakin banyak anak akan semakin kuat jaminan sosial-ekonomi keluarga (LeVine dkk, 1988, dalam Irwanto, 1996:53). Banyak penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan faktor pendorong yang paling mendasar. Keluarga-keluarga miskin tidak mampu mempertahankan anak di sekolah, sementara intervensi dengan program IDT bahkan meningkatkan partisipasi anak dalam bekerja.
Pada keluarga miskin, keputusan untuk bekerja sebagian datang dari anak sendiri, tetapi sebagian lain karena keinginan orang tua. Penelitian oleh Suyanto dan Mashud (2000:33) menemukan bahwa lebih dari separuh orang tua menghendaki anaknya membantu pekerjaan orang tua dengan maksud-maksud sosial edukatif—meski pada kenyataannya hal ini tetap mengakibatkan banyak anak lebih tertarik menekuni pekerjaan daripada sekolahnya. Sebagian kecil lainnya memaksa anak-anaknya bekerja—baik dalam lingkungan keluarga maupun kepada orang lain—untuk tujuan ekonomi. Dalam situasi krisis belakangan ini kecenderungan keinginan orang tua untuk memperlakukan anak sebagai tenaga kerja produktif menjadi makin kuat karena penghasilan yang diperoleh orang tua tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga.


Pendidikan
Biaya pendidikan Dasar juga menjadi sebab dari anak untuk bekerja. Penelitian di NTT oleh Daliyo tahun 1996 menemukan bahwa lebih dari separoh anak yang disurvai telah bekerja sambil sekolah. Sementara itu penghapusan SPP belum terbukti membantu masyarakat yang miskin. Biaya untuk seragam, transport, buku, dan lain-lain masih dipandang cukup tinggi. Kenyataan ini mendorong orang tua untuk mempertimbangkan kesempatan ekonomis yang hilang bila anak tetap di bangku sekolah, dan memilih untuk meminta anak bekerja.
Partisipasi sekolah mempunyai hubungan resiprokal dengan status pekerjaan anak. Anak yang gagal dalam pendidikan (drop out) lebih terdorong untuk bekerja, dan sebaliknya anak yang bekerja sambil sekolah cenderung menurun prestasinya, atau mudah mengalami drop out (Suyanto dan Mashud, 2000: 22). Dengan demikian, mahalnya biaya pendidikan menempatkan anak dalam posisi yang dilematis. Anak yang masih berminat sekolah tetapi orang tuanya tidak mampu membiayai akan memaksa anak itu untuk bekerja. Sementara itu, kesibukan bekerja akan membuat anak tersebut terganggu prestasi belajarnya, terpaksa mbolos dari kelas, dan pada akhirnya terpaksa drop-out. Sementara itu kemampuan pemerintah untuk menutupi ongkos pendidikan di luar SPP membuat anak tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus bekerja. Ini berarti, arah solusi dari masalah pekerja anak, salahsatunya terdapat pada sektor pendidikan, yaitu bagaimana membuat anak terbebas dari biaya pendidikan, dan jika hal tersebut tidak mungkin, bagaimana membuat sistem pendidikan lebih mengakomodasi kondisi anak yang terpaksa harus sekolah sambil bekerja.

Penetrasi Pasar
Pasarisasi atau penetrasi kapitalisme global ke dalam perekenomian nasional dan daerah menjadi faktor penting yang ikut memacu tumbuhnya pekerja anak. Dalam situasi perdagangan internasional yang sangat kompetitif, anak dipandang sebagai suatu jalan keluar untuk menekan ongkos produksi. Pengurangan ongkos melalui sistem borongan di rumah kerja (putting-out system) atau melibatkan anak yang digaji rendah dan tanpa jaminan sosial dalam proses produksi merupakan cara yang lebih mudah dalam memenangkan persaingan, ketimbang melalui peningkatan efisiensi kerja, penggunaan mesin atau pengembangan strategi manajemen yang lebih efisien. (Irwanto, 1996: 53).
Kecenderungan anak merespon kecenderungan pasar dengan masuk sebagai tenaga kerja tidak seluruhnya dianggap negatif oleh para ahli pekerja anak. White bahkan melihat bahwa mempermasalahkan anak yang bekerja di sektor formal lebih bias kepada perspektif pihak intervensi, yang seringkali bertentangan dengan perspektif anak itu sendiri. White (1994:3) menunjukkan adanya kontroversi antara pihak intervensi (pemerintah atau pengambil kebijakan) dengan anak. Pekerjaan bergaji di sektor industri, pertambangan, atau pengolahan kayu, dan sebagainya yang dianggap oleh pihak intervensi (pengambil kebijakan) sebagai pekerjaan yang bermasalah atau tidak layak dikerjakan anak, dari sisi anak acapkali justru lebih diinginkan atau sebagai pemecahan masalah. Sementara itu pekerjaan reproduktif yang tidak memberi keuntungan materi langsung yang dianggap oleh pihak intervensi sebagai tidak bermasalah, dari perspektif anak justru dianggap bermasalah. Upaya untuk mengeluarkan anak dari pekerjaan di sektor formal ini justru dianggap counter productive. Kontroversi antara dua pandangan yang berseberangan ini akan memberi arah bagaimana masalah pekerja anak harus diatasi.

PENDEKATAN KEBIJAKAN
Secara garis besar ada 3 pendekatan dalam penanganan masalah pekerja anak, yaitu pendekatan aborsionis, pendekatan proteksionis, dan pendekatan pemberdayaan. Pendekatan tersebut pertama bersifat kontradiktif dengan dua pendekatan lainnya. Pada pendekatan aborsionis, pekerja anak dianggap sebagai suatu masalah yang sama sekali tidak dapat ditoleransi, dan karenanya harus dihapuskan sepenuhnya. Berbeda dengan pendekatan aborsionis, pendekatan perlindungan bertolak dari suatu anggapan bahwa menghapuskan sama sekali pekerja anak merupakan suatu utopi, karena dalam praktek sulit untuk direalisasi. Jika upaya abolisi dipaksakan, hasilnya justru akan merugikan kepentingan anak itu sendiri. Karena itu, yang perlu dilakukan bukannya melarang anak bekerja, tetapi melindungi pekerja anak dari praktek-praktek yang membahayakan, eksploitatif, dan merugikan anak. Dalam perkembangan berikutnya, muncul pendekatan yang lebih maju lagi, yaitu pendekatan pemberdayaan. Pendekatan ini didasarkan kepada asumsi bahwa pekerja anak menjadi bermasalah ketika mereka tidak mempunyai keberadayaan untuk mengorganisasi diri (self organization) dan membela hak-hak dan kepentingannya. Karena itu yang harus dilakukan adalah dengan memberdayakan mereka.
Kedua pendekatan tersebut terakhir, yaitu pendekatan proteksionis dan pemberdayaan bersifat komplementer, artinya saling memperkuat dan saling membutuhkan untuk keberhasilannya. Usaha para anak untuk memberdaya diri menuntut pelaksanaan hak-hak serta perbaikan-perbaikan yang telah ditentukan oleh peraturan-peraturan perlindungan, sedangkan melalui strategi pengorganisasian diri suara mereka dapat mempengaruhi isi dan substansi dari langkah-langkah perlindungan tersebut supaya lebih mendekati kepentingan dan keinginan mereka. Sebaliknya, pendekatan larangan tidak mendukung, tetapi malah justru lebih bersifat menghalangi tercapainya tujuan perlindungan maupun pemberdayaan (White, 1994:4).
Perlu dicatat, bahwa negara-negara Barat tidak pernah menerapkan kebijakan abolisionis secara murni. Negara Belanda misalnya, antara tahun 1850-1870 membentuk berbagai komisi nasional untuk melakukan enquĂȘte (angket), untuk memantau kondisi anak-anak yang bekerja di pabrik. Ternyata tidak satupun dari komisi tersebut yang merekomendasikan pembuatan atau perluasan undang-undang untuk melarang atau membatasi pekerjaan anak-anak. Menarik untuk disimak argumen yang dikemukakan oleh Komisi Nasional Pemerintah Belanda tahun 1869 untuk tidak membuat Undang-Undang yang melarang anak bekerja di pabrik:

Jika Undang-Undang melarang anak masuk pabrik, atau membatasi jumlah jam kerja mereka, keluarga anak tersebut akan kehilangan sebagian penghasilannya sehingga mereka harus mencari penggantinya dengan cara-cara lain. Anak-anak akan tetap dipekerjakan di rumah sendiri, atau disuruh mencari penghasilan di jalanan dengan cara apa saja; atau tetap disuruh berburuh di luar, tetapi dalam jenis-jenis pekerjaan lain yang tidak dicakup dalam Undang-Undang. Kemungkinan besar keadaan anak-anak hanya akan bertambah buruk, atau sama saja, dibandingkan keadaan sebelumnya” (White, 1994:7 mengutip dari Vleggeert, 1967:71).

Ketika di negara tersebut diperlakukan wajib belajar yang pertama (leerplichwet 1900) dan pencapaian tingkat partisipasi sekolah sampai umur 14 tahun yang hampir sempurna, sekitar 50 tahun kemudian (sekitar pertengahan abad ke-20, pekerjaan anak-anak tidak hilang, tetapi hanya berubah dari full-time menjadi part-time, sehingga kebanyakan anak wajib sekolah yang sekarang bekerja lebih sering bekerja di luar jam sekolah: pada hari Sabtu/Minggu; dan pada musim libur sekolah.
Saat ini, di Negara Belanda anak-anak Belanda sudah dilindungi oleh seperangkat UU dan peraturan yang cukup komprehensif. Anak-anak di bawah 13 tahun tidak boleh bekerja sama sekali; anak 13-14 tahun hanya boleh melakukan kerja ringan, dan tidak lebih dari 2 jam/hari pada hari sekolah, 5 jam/hari pada hari lainnya. Remaja yang berumur 15-17 tahun boleh melakukan pekerjaan ”ringan” yang full-time, tetapi hanya pada hari/masa libur sekolah, tidak lebih dari 8 jam/hari, tidak pada hari Minggu; pada hari-hari sekolah mereka hanya boleh melakukan pekerjaan ringan yang bukan industri, antara jam 7 malam sampai jam 6 pagi, dan maksimal 2 jam/hari (White, 1994:8).
Saat ini terdapat tekanan global bagi negara-negara miskin untuk membebaskan anak dari pekerjaan. Tekanan keras misalnya ditunjukkan dengan adanya lobi kuat dari Pemerintah AS, ICFTU, Masyarakat Eropa, NAFTA, dan GATT dengan ”social clause”nya untuk memboikot produk-produk dunia ketiga yang pembuatannya menggunakan tenaga kerja anak. Peneliti Pekerja Anak Benjamin White menyebut ulah negara-negara maju tersebut sebagai suatu hipokrisi.

Dengan cara (boikot) ini beberapa negara terkaya di dunia akan berusaha memaksa negara-negara miskin untuk memperketat atau melaksanakan larangan terhadap pekerja anak (umumnya dengan menentukan usia minimum 15 tahun), sedangkan negara-negara kaya itu tidak pernah berhasil melaksanakan peraturan-peraturan child labour yang berlaku di negara mereka sendiri (White, 1994:4).

Dalam konteks tekanan global itulah ILO mencanangkan konsep eliminasi pekerja anak (the elimination of child labour). Namun menyadari adanya kesulitan untuk menghapuskan pekerja anak dalam jangka dekat, konsep eliminasi tersebut hanya ditempatkan sebagai tujuan akhir. Pada jangka pendek mereka fokus pada penghapusan bentuk-bentuk terburuk pekerja anak sebagai tujuan antara.
Posisi pemerintah dalam mensikapi masalah pekerja anak terlihat mendua; di satu sisi membuat larangan, tapi pada sisi lain memberi toleransi. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara tegas melarang orang tua atau perusahaan mempekerjakan anak di bawah umur dan mengenakan sanksi hukuman kurungan yang cukup berat bagi pelanggar. Tetapi Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan anak di bawah umur 18 tahun bekerja, asal dengan jam kerja tidak melebihi 3 jam/hari. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 5 Tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak Pasal 1 menyatakan bahwa pekerja anak adalah yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang. Ini berarti, anak yang melakukan pekerjaan yang tidak berbahaya tidak termasuk dalam definisi pekerja anak, dan karenanya (secara implisit) tidak dilarang. Pembatasan ini menjadi jelas jika dibaca ayat selanjutnya yang menyatakan bahwa Penanggulangan Pekerja Anak atau disebut PPA adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk menghapus, mengurangi dan melindungi pekerja anak berusia 15 tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya.
Pemda Kukar dalam Perda Nomor 9 Tahun 2004 secara eksplisit mencanangkan zona bebas pekerja anak. Tetapi bunyi dari pasal-pasal dalam Perda tersebut memberi toleransi pada pekerjaan anak dengan menentukan batas-batas yang diperbolehkan. Misalnya pada Pasal 4 ditekankan tentang usaha mencegah atau menghapus 17 bentuk pekerjaan terburuk, dan pada Pasal 5 ditentukan tentang batas-batas toleransi, seperti jam kerja (paling lama 3 jam), waktu istirahat (30 menit), adanya fasilitas kerja, tunjangan kerja, perlindungan kerja dan upah sesuai UMR/UMSP. Ini berarti bahwa Pemda Kukar tidak menerapkan pendekatan abolisionis tersebut secara mutlak, tetapi mengkombinasikannya dengan pendekatan proteksionis.
Kecenderungan kuat dari pemerintah untuk lebih menekankan pada solusi praktis terhadap masalah pekerja anak tampak misalnya dari makalah Sekretaris Menko Kesra, Dr. Suyono Yahya, MPH, ”Kebijaksanaan dan Program Untuk Menangani Masalah Pekerja Anak” dalam Konferensi Nasional II Masalah Pekerja Anak di Indonesia, Bogor, 24-26 Juli 1996:

Penghapusan masalah pekerja anak tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat secara pragmatis. Kita harus melihat berbagai faktor yang mempengaruhi, namun yang paling utama kita harus berpegang pada kebijaksanaan menempatkan langkah yang terbaik bagi anak. Bagi anak-anak yang bekerja kita tidak dapat melarang mereka segera meninggalkan pekerjaannya sepanjang kita belum dapat menggantikan manfaat yang mereka peroleh dengan bekerja. Upaya rehabilitasi kita tujukan untuk menghilangkan dampak-dampak negatif dari akibat bekerja misalnya, bila dia kehilangan waktu belajar karena tidak dapat mengikuti pendidikan reguler. Kita perlu memberi kesempatan belajar dengan metode pemberian paket kerja A dan B (hlm.66).

Cara pandang pragmatis dengan melihat masalah pekerja anak dari perspektif anak lebih tampak pada kalangan masyarakat sipil. Kalangan LSM di Indonesia lebih cenderung mengadopsi pendekatan perlindungan dan pemberdayaan. Kedua pendekatan ini dianggap lebih realistis dari sudut pandang anak. Anak tidak diperlakukan sebagai obyek, apalagi terdakwa, tetapi sebagai subyek yang menyadari hak-hak dasarnya, termasuk hak untuk dilindungi dan diberdayakan. Penerapan terhadap dua pendekatan tersebut sekaligus diharapkan bisa memberi solusi yang lebih manusiawi: ”...humanizing the work of children by combining it creatively with education, health and welfare” (memanusiawikan pekerjaan anak-anak dengan menggabungkan secara kreatif pekerjaan mereka dengan menyediakan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan) (Tjandraningsih, 1995:8 mengutip Fyfe, 1989:10).

ALTERNATIF AKSI PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN

Pekerja anak adalah suatu suatu realitas sosial yang perlu disikapi secara bijaksana. Anak adalah generasi penerus yang perlu ditingkatkan kualitasnya sebagai sumberdaya manusia bagi perbaikan masa depan bangsa. Upaya untuk menghapuskan pekerja anak, termasuk penentuan Kukar sebagai Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA) tampaknya berangkat dari tujuan mulia tersebut. Namun usaha-usaha tadi harus dilakukan dengan hati-hati agar terhindar dari tindakan-tindakan policing atau coercive (seperti boikot terhadap perusahaan yang mempekerjakan anak) yang justru dapat merugikan kepentingan anak itu sendiri.
Penentuan tentang ZBPA adalah langkah yang benar sejauh yang dimaksud adalah untuk mengeliminasi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak-anak, seperti yang tercantum dalam Konvensi ILO No: 182/1999 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia. Ketentuan tentang wajib belajar 9 tahun, pendidikan gratis untuk sekolah dasar dan menengah, serta subsidi bagi keluarga miskin juga merupakan langkah positif untuk mengurangi jumlah pekerja anak. Namun upaya karitatif tersebut harus dilakukan secara terukur, karena jika dilakukan secara berlebihan justru dapat mengurangi kemandirian dan kreativitas dari keluarga miskin. Selain itu, upaya karitatif saja tidaklah mencukupi untuk menghilangkan fenomena pekerja anak. Masalah pekerja anak adalah masalah yang kompleks yang memerlukan penanganan yang komprehensif dan menuntut keterlebibatan berbagai pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi juga kalangan bisnis dan masyarakat sipil.
Upaya penanganan pekerja anak harus berangkat dari perspektif anak dan sesuai dengan realitas sosiologis dan psikologis anak. Solusi apa pun harus mendatangkan dampak positif bagi anak, bukan sebaliknya. Ada banyak upaya yang telah dilakukan oleh organisasi pemerintah mau pun non pemerintah yang bersifat perlindungan maupun pemberdayaan. Departemen sosial menyelenggarakan program baik pendekatan institusional maupun non institusional, seperti pengembangan institusi formal (Center Based), institusi non formal (Drop in Center). Sementara itu, secara Departemen tersebut juga melakukan pendekatan non institusional, baik melalui penanganan berbasis keluarga (home based), penanganan anak yang mencari uang di jalan (Street Based), maupun melakukan penanganan melalui masyarakat (Community Based). Lembaga Wanita, Remaja dan Anak (LPWRA)-DPP SPSI melakukan penanganan pekerja anak melalui pondok pekerja anak (PPA). PPA adalah pusat kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan serta kesejahteraan anak melalui pembinaan-pembinaan yang dilakukan oleh pekerja sosial PPA. Selanjutnya Yayasan Paramitra Jawa Timur melakukan upaya perlindungan pekerja anak melalui wahana pondok pesantren. Balai Keterampilan Muhammadiyah Weleri, Kendal, melakukan upaya pengembangan model pelatihan pra kejuruan untuk pekerja anak. Masih banyak model perlindungan dan pemberdayaan yang sudah diterapkan di Indonesia yang terlalu panjang untuk disebut satu-persatu.
Upaya-upaya tadi dapat menjadi inspirasi bagi Pemda Kutai Kartanegara dalam membangun upaya yang konstruktif untuk mengatasi masalah pekerja anak. Ke depan yang hendak kita capai adalah terbebasnya anak-anak Kukar dari bentuk-bentuk buruk pekerjaan anak, dan pada saat yang sama terlindunginya dan terberdayanya pekerja anak di Kukar pada sektor-sektor yang tidak berbahaya, yang secara keseluruhan lebih memungkinkan bagi anak-anak Kukar untuk meningkatkan kualitas mereka sebagai generasi masa depan Kukar.


Daftar Kepustakaan

Embassy of the United States of America, Jakarta of Indonesia. “Laporan Amerika Serikat tentang Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 1998”.
Hartiningsih, Maria. ”Pekerja Anak, Tragedi Induestrialisasi.” Kompas Online, Selasa, 28 Oktober 1997.
Irwanto, “Kajian Literatur dan Penelitian Mengenai Pekerja Anak Sejak Pengembangan Rencana Kerja IPEC 1993”. Proceeding Konferensi Nasional II Masalah Pekerja Anak di Indonesia”, Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, 24-26 Juli 1996, hlm 43- Proceeding Konferensi Nasional II Masalah Pekerja Anak di Indonesia”, Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, 24-26 Juli 1996, hlm. 54.
Irwanto. Studies of Chile Labour in Indonesia: 1993-1996. Jakarta: International Programme on the Elimination of Child Labour (IPEC), ILO, 1997.
Mada, Wientor Rah. ”Wisata dan Eksploitasi Anak. Pikiran Rakyat. Senin, 15 Desember 2003.
Mutia, Narila. ”ILO: Kondisi Pekerja Anak di Indonesia Buruk”. Tempo Interaktif, 8 Juli 2003.
Silalahi, Levi. ”Studi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Terhadap Jenis-Jenis Pekerjaan Berbahaya untuk Pekerja Anak-Anak”. Tempo Interaktif, Minggu, 13 Juni 2004.
Sumantri, Priyono. ”Penilaian Atas Program Aksi Nasional dan Pekerja Anak Sejak Tahun 1993”. Proceeding Konferensi Nasional II Masalah Pekerja Anak di Indonesia”, Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, 24-26 Juli 1996, hlm.31-41.
Supenti, Titin. ”Data Analisis: Perkembangan Pekerja Anak Tahun 2002-2003”, Warta Ketenagakerjaan. Jumat, 2 Juni 2006.
Suyanto, Bagong & Sri Sanituti Hariadi. Pekerja Anak: Masalah, Kebijakan dan Upaya Penanganannya. Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2000.
Tjandraningsih, Indrasari. Pemberdayaan Pekerja Anak: Studi Mengenai Pendampingan Pekerja Anak. Bandung: Akatiga, 1995.
White, Benjamin. ”Children, Work and ’Child Labour’: Changing Responses to the Employment of Chuldren”. Development & Change, Vol. 25, October 1994.
White, Benjamin. ”Perubahan Keterlibatan Anak dalam Pendidikan & Kerja: Analisis Tiga Generasi”. Seminar bulanan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Kamis, 17 April 2003.

* Paper ini disampaikan dalam SEMILOKA REFLEKSI DAN EVALUASI PROSPEK ZONA BEBAS PEKERJA ANAK DI KUTAI KARTANEGARA Tanggal 20 Juni 2006 di Hotel Singgasana Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. yang dilaksanakan Oleh Mapeksi Kaltim
[1] Bandingkan isu pekerja anak ini dengan isu permukiman kumuh, pedagang kaki lima, prostitusi, dan aborsi. Kebijakan-kebijakan yang bernuansa aborsionis dalam kenyataannya gagal mengeliminasi fenomena yang dipermasalahkan, yang terjadi justru menjamurnya fenomena tersebut secara terselubung, sehingga sulit dilakukan upaya-upaya perlindungan dan pemberdayaan.